Penguatan Keling Menua Sungai Utik dalam Persiapan Kegiatan Ekowisata

Gawai Dayak Iban di Sui Utik Kalimantan Barat. (Greenindonesia.org)


Kehidupan masyarakat Sui Utik sangat erat kaitannya dengan hutan. Mulai dari perlengkapan dapurnya, gagang parang yang di ukir indah namun sederhana, berbagai jenis keranjang dan tikar dari berbagai jenis bahan tanaman, perahu-perahu mereka, lagu-lagu dan tarian, semua terhubung erat dengan hutan secara indah. Perempuan-perempuan Sui Utik menenun kain-kain yang indah, menganyam tikar, keranjang dan kotak-kotak semua dari bahan alami yang diambil dari hutan sekitar.

Kurun waktu April-Juni 2015 lalu, GreenIndonesia telah melakukan pendampingan kepada masyarakat Sungai Utik untuk menguatkan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Keling Menua. Kelompok dengan ketua Simon Saleem ini telah terbentuk sejak 2014 yang kemudian disempurnakan kembali hingga mendapatkan satu kesatuan pengelola yang utuh bernama “Keling Menua”, yang artinya Keling : orang kahyangan yang sering dipanggil ketika upacara adat, Menua : wilayah. Kelompok ini bersama GreenIndonesia mengembangkan ekowisata yang bercermin kepada definisi yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain sejak tahun 1987:

 “Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini.” Definisi tersebut disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 sebagai berikut: “Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”.

Ekowisata Sungai Utik bertujuan melibatkan dan memberikan pengalaman kepada pengunjung bagaimana menjaga kelestarian lingkungan, menghargai dan memperkaya budaya lokal dan memberikan kesejahteraan ekonomi bagi Sungai Utik. Kegiatan untuk meningkatkan kemandirian dengan fokus kepada penguatan kebudayaan asli setempat, menguatkan kelembagaan professional kelompok ekowisata – terutama terkait penguatan peranan setiap anggota masyarakat Sungai Utik dalam menggulirkan usaha eko-wisata tanpa menunggu Pak Remang sebagai Kepala Desa.

Selain itu Pokdarwis Keling Manua bersama GreenIndonesia juga melakukan pengembangan Homestay dan komponen pendukung ekowisata lainnya, melakukan penyempurnaan paket wisata Sungai Utik, peningkatan pengetahuan anak-anak tentang keragaman hayati di perpustakaan Sungai Utik dan menggali produk-produk hijau yang ada di Sungai Utik. Secara khusus GreenIndonesia juga melakukan pendokumentasian perayaan Gawai Dayak Iban.

Mengemas Ekowisata Sungai Utik

Rumah Betang kini memiliki Homestay untuk menginap tamu, sebanyak 2 kamar. Letaknya di bagian atas ruai rumah panjang di bilik Apai Remang dan Saleem. Homestay ini dilengkapi dengan pernak-pernik khas Iban. Homestay lainnya yang masih dalam perencanaan adalah salah satu rumah kosong yang akan diperbaiki tidak hanya sebagai Homestay, namun juga sebagai visitor center untuk informasi serta gallery mini budaya khas milik masyarakat Sungai Utik.

Barang-barang yang dibuat di rumah panjang, seperti tikar anyaman, peralatan makan dan rumah tangga dari kayu, tenun ikat dan songket, semuanya memiliki nilai ekonomi dan estetika yang tinggi. Barang-barang tersebut kini banyak dipesan sebagai buah tangan oleh pengunjung. Termasuk kerajinan lainnya seperti gelang anyaman dari rotan dan resam, selendang tenun pewarna alami yang telah dikelola oleh kelompok sebagai souvenir. Saat ini di rumah Betang terdapat lebih dari 5 orang pembuat gelang rotan, 1 orang pembuat piring kayu, lebih dari 25 orang penenun selendang, dan hampir semua Inay menganyam tikar.

Sebagai masyarakat Dayak Iban, Sui Utik memiliki kekayaan beragam baik dari segi kuliner dengan bahan dan bumbu yang diambil dari dalam hutan, maupun hasil budidaya di ladang. Berbagai jenis tanaman hutan yang biasa mereka panen untuk dimasak sehari-hari maupun untuk keperluan upacara adat diantaranya : pakis, jamur, rebung bambu, rebung rotan, inti pisang, umbut kelapa atau aren-arenan. Beberapa jenis tanaman pangan yang mereka tanam sendiri di ladang atau di sekitar rumah diantaranya : Singkong (untuk diambil daun dan umbinya), Terung Asam, Ubi Jalar, Timun Suri, Cabai, Labu, Jagung. Selain sayuran, buah-buahan di dalam hutan dan sekitar rumah Betang juga cukup beragam. Beberapa buah yang dapat dijumpai di hutan diataranya : Puak, Kemunting, Cucung, Nanas hutan, Buah Wi, Lembak, Ridan, Cempedak, Celekat, Lumuk, Asam Kandis, durian hutan. Sedangkan buah yang ditanam di sekitar rumah betang : Pisang, Kelapa hijau, Jeruk, Belimbing, Langsat, Duku, Durian, Jambu biji, Papaya.

Sebagai sumber protein hewani, masyarakat Sui Utik mendapatkan dari hasil buruan ataupun menjala ikan di sungai. Beberapa jenis buruan yang biasa didapat diantaranya babi hutan, rusa, kancil, kelasi, tupai dan ular. Untuk teknik memasak, masyarakat mengasap, memanggang, mengasin dan membuat sup hasil buruan.

Minuman favorit di Sui Utik adalah Tuak atau biasa disebut Saguer. Minuman ini berasal dari nirah aren yang ditambahkan dengan kulit kayu laru supaya lebih cepat terfermentasi. Minuman lainnya adalah Tuak yang terbuat dari brem beras ketan. Tuak biasa dibuat untuk perayaan hari-hari besar dan upacara adat, rasanya manis dan hangat.

Minuman lainnya yang terlupakan di Sungai Utik adalah kopi dan berbagai jenis teh herbal. Menurut Apay Janggut dan Apay Saleem, hampir semua penghuni rumah Betang memiliki pohon kopi di setiap ladang atau hutan mereka. Mereka mengolah kopinya sendiri, dengan teknologi yang sederhana, dipetik, dijemur, disangrai dan ditumbuk dengan lesung kayu. Namun sejak diperkenalkan dengan kopi kiloan yang sudah menjadi bubuk, mereka beralih untuk membeli kopi instan, sehingga pohon-pohon kopi mereka tidak lagi dipanen dan dirawat. Demikian juga dengan teh, cukup banyak tersedia di sekitar hutan dan pekarangan rumah Betang, seperti sereh, jahe dan kunyit.

Menjadikan Sungai Utik sebagai tempat belajar adalah salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dalam ekowisata. Kegiatan di Sungai Utik yang dapat dilakukan dalam rangkaian ekowisata diantaranya masuk ke hutan untuk mencari buah dan sayur dengan menggunakan alat tradisional serta berburu. Susur sungai sambil mencari ikan dan berenang mengikuti arus sungai. Pergi ke ladang untuk ikut menanam dan memanen tanaman sayur. Membuat kerajinan seperti menenun, menganyam tikar (rotan, bemban, bamboo, pandan), menganyam keranjang (Rotan, bambu, pandan), membuat peralatan makan dari kayu dan membuat tempat air dari kulit labu kering. Serta belajar kesenian asli Dayak Iban seperti menari, memainkan alat musik, membuat tato dan permainan tradisional.

Untuk meningkatkan keingintahuan pemahaman anak-anak Sungai Utik tentang keragaman jenis-jenis satwa kelompok baca Rumah Panjang telah mendapatkan buku-buku tentang keragaman hayati satwa liar. Melalui buku-buku ini, diharapankan mereka mengenal keragaman jenis-jenis satwa liar tak hanya yang ada di sekitar mereka, tetapi meningkatkan minat keingintahuannya atas keberagaraman yang ada di wilayah lain. Mengetahui nama-nama dari setiap satwa, dan mengetahui lebih jelas informasi dari setiap satwa. Meningkatkan pengetahuan anak-anak Sungai Utik melalui penyampaian kearifan budaya dan pengetahuan dari kalangan tua kepada anak anak merupakan langkah awal untuk melestarikan keragaman hayati yang mereka miliki. Dengan mengenal keragaman flora dan fauna serta membaca lebih jauh bersama kelompok baca Rumah Panjang, dan praktek pengamatan burung, ini dapat menjadi salah satu paket wisata menarik di Sungai Utik.

Sumber : Diolah dan dikutip dari Laporan Triwulan “Pengembangan Wisata Eko-Budaya di Sungai Utik”, Annisa Yuniar-GreenIndonesia-Oktober 2015

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours