Wilayah Kelola Masyarakat dan Perubahan Iklim

(SAMDHANA/Andhika)


Oleh Andhika Vega Praputra

Perubahan iklim masih menjadi isu rumit bagi masyarakat sekitar hutan. Terlebih karena dipenuhi berbagai jargon dan istilah teknis serta kerumitan berbagai prosedur yang masih dibahas. Belum lagi soal insentif dan kerangka pengaman yang tampak samar bagi masyarakat hutan.

Sebuah inisiatif untuk menggali pengalaman para pihak terkait perubahan iklim telah dilakukan RECOFTC bersama FKKM dan Samdhana. Sebelumnya telah dilakukan konsultasi perubahan iklim dan REDD di tingkat sub-nasional, Kabupaten dan Provinsi.

Dianggap sebagai konsep yang bias daratan, pengurangan emisi berbasis lahan dirasa sulit dilakukan pulau-pulau kecil. Kemungkinan emisi yang dikurangi pulau kecil tidak signifikan jumlahnya seperti di pulau besar. Masyarakat kepulauan juga dihadapkan pada mendesaknya kebutuhan untuk adaptasi. Inisiatif tersebut mereka upayakan ditengah upaya pemenuhan kebutuhan mereka.

Di Maluku Utara, pengarus-utamaan pangan lokal juga sedang di dorong para pihak. Pengakuan wilayah adat untuk mengatasi konflik klaim atas tanah juga mendominasi isu di kepulauan yang sempat terkenal karena rempahnya itu. Kepastian hak atas wilayah, meski tidak secara langsung berkaitan dengan perubahan iklim namun berpengaruh pada penghidupan masyarakat yang meninggalinya.

Aspek keamanan tenurial, juga mencuat di lokasi lain, seperti Bantaeng, Lampung, Jember, Biak dan Merangin. Ditengarai keamanan tenurial menjadi prasyarat untuk masuk ke dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).

Namun, memiliki izin belum tentu memberikan keamanan bagi masyarakat untuk mengakses sumber daya dan mengusahakannya. pengalaman di Biak misalnya, meski telah memiliki izin pengelolaan hutan melalui skema Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu kepada Masyarakat Adat (IUPHHK-MHA), namun belum didukung dengan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK). Ketiadaan NSPK menyebabkan IUPHHK-MHA tersebut tidak dapat difungsikan secara optimal. Kekhawatiran yang muncul dari pengelola hutan dan kelompok masyarakat adalah terjadi disinsentif bagi masyarakat pemegang izin, karena tidak dapat maksimal memanfaatkannya. Hal serupa juga dikhawatirkan pada skema insentif dari pengurangan emisi hutan.

Di Merangin, kebanyakan para pihak terlibat pada skema perhutanan sosial. Inisiatif dilakukan memperkuat gerakan anggota koalisinya dalam memberi akses sumberdaya dan penghidupan bagi masyarakat. Seperti dilakukan di Jember (oleh Konservasi Alam Indonesia Lestari-KAIL, mitra Samdhana), Lombok (Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi -Konsepsi) dan Ketapang (Fauna Flora International-FFI), bentuk imbal jasa lingkungan bagi masyarakat, karena telah mengurangi emisi secara sukarela, melalui skema Plan Vivo, juga telah dilakukan di Merangin, Jambi oleh Pundi Sumatra, yang juga mitra Samdhana.

Dari pengalaman Laman Satong Ketapang, misalnya, dipetik pengalaman pembagian manfaat dari pembayaran jasa lingkungan. Hal tersebut diatur berdasar kesepakatan para pihak terlibat dengan dipayungi peraturan desa.

Menghadapi persoalan Bersama

Perubahan iklim yang digelar pada Convention Of Parties (COP) ke 21 di Paris, diharapkan membawa keputusan yang berpihak pada upaya pengurangan emisi berbasis masyarakat. Para pihak mengharapkan COP 21 dapat melahirkan kesepakatan yang diikuti negara-negara pesertanya secara legal. Setelah lebih dari 20 tahun sejak dicetuskan pada Rio Earth Summit 1992, secara khusus Kerangka Kerja PBB untuk perubahan iklim (UN Framework on Climate Change – UNFCCC) akan memaksa negara-negara diharapkan berkontribusi untuk mengurangi laju pemanasan global dibawah 2ā°Celcius.

Wajib maupun sukarela, perubahan iklim adalah soal bersama. Di pinggir hutan, maupun di belahan dunia lain pelaku industry. Baik pemodal, maupun masyarakat yang bergantung pada hutan. Sudah selayaknya kita berkolaborasi melalui perubahan yang inovatif. Agar bumi terjaga dan kehidupan pun terus berjalan.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours