‘Meet the Maker 10’ dan Tradisi Kriya Indonesia

Selama tiga hari (22-24 Oktober 2015) 15 seniman/perajin/desainer komunitas lokal dari berbagai penjuru nusantara akan menampilkan karya sekaligus mendemonstrasikannya di Jakarta, sebagai salah satu upaya mempertahankan, mempromosikan, dan membina tradisi kriya Indonesia. Mereka berhimpun dalam satu kegiatan bertajuk ‘Meet the Makers 10’, bertempat di Pendopo Payon, Jalan Kemang Raya No.17 Jakarta.

Mereka tampil dengan karyanya yang berupa seni keramik, batik, tenun, kayu dan kulit, pakaian inovatif, perhiasan, tas, dan pelengkapan interior. Seniman/perajin/desainer tersebut berasal dari wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat , Savu, Yogyakarta, dan Jakarta. Diantaranya Mama Anto, seorang ibu penenun dari Mamasa, penenun muda ‘Sabe’ (Elisabeth) yang menguasai teknik tenun Palawa dan Ibu Saparidha dengan tenun pandan dari Kayong Utara, Kalimantan barat.

Meet the Makers yang menyoroti ‘craft as art’ dari bahan lokal, telah diselenggarakan tujuh kali di Jakarta dan satu kali di Bali. Diadakan dua kali dalam setahun dan diikuti oleh komunitas seniman, pengrajin, maupun desainer dan organisasi akar rumput di Indonesia. Pameran ini menyajikan keakraban antara seniman atau perajin dengan para pecinta budaya, sekaligus menjual hasil karya mereka langsung kepada publik.

Meet the Makers 10 tidak hanya memamerkan beragam craft as art, tetapi juga mengadakan berbagai macam kegiatan dan demonstrasi, seperti demo menenun, membuat warna alam, dan teknik-teknik pembuatan kerajinan perak dari Kota Gede, Yogyakarta. Para pengunjung juga akan menikmati alunan musik, sekaligus belajar banyak tentang kebudayaan Indonesia melalui diskusi dan pameran bertema ‘Proses Adalah Guru Ku’.

‘Meet the Makers’ dikembangkan oleh Rumah Budaya Babaran Segaragunung dan diorganisir bersama Pekunden Caramis, Borneo Chic dan Toraja Melo. Pendukung acara ini adalah Payon, Samdhana Institute, Dave dan Sue Potter.

Dua Penenun dari Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat

Mama Anto dan Elisabeth (Sabe) adalah dua penenun Mamasa yang tampil mendemonstrasikan kemampuan menenun mereka. Mama Anto adalah seorang ibu dari enam orang anak dan nenek daridua orang cucu. Beliau lahir pada tahun 1969 dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Beliau tinggal di Desa Posipadang, Kabupaten Mamasa dan belajar menenun sejak usia dini. Mama Anto menguasai beberapa motif tenun Mamasa. Baru-baru ini untuk pertama kalinya Mama Anto menghasilkan kain katun putih-putih untuk Toraja Melo. Mama Anto telah menjadi penenun Toraja Meno untuk Mamasa sejak tahun 2013 dan merupakan koordinator untuk membangun beberapa cluster dari penenun Mamasa.

Sabe adalah generasi baru dari penenun Mamasa. Dia lahir pada tahun 1994 tetapi telah membuktikan diri sebagai salah satu penenun Mamasa yang paling menjanjikan di masa depan. Seorang PNS yang tetap mempertahankan passion nya di tenun dengan menguasai teknik tenun Palawa.

Penenun Pandan dari Kayong Utara, Kalimantan Barat


Saparidha (43), biasanya dipanggil Ibu Idha, adalah seorang perajin pandan dari desa Sejahtera Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Beliau mempelajari kerajinan ini dari neneknya.

Kerajinan Pandan adalah kerajinan tradisional yang berasal dari etnis Malay di Kabupaten Kayong Utara. Kabupaten ini memiliki sumber daya pandan yang cukup melimpah sebagai bahan baku pembuatan tikar anyaman. Pada umumnya, penenun pandan di desa Sejahtera membuat tikar dari berbagai ukuran untuk digunakan sebagai kasur. Bahan pandan pun tidak hanya ditenun menjadi tikar, tetapi juga menjadi berbagai produk seperti alas meja, alas piring, pembatas buku, anting- anting dan sebagainya.

Kecintaan Ibu Idha terhadap kerajinan anyaman mendorongnya untuk bergabung dengan kelompok seniman penenun pandan yang bernama Peramas Indah yang terletak di Desa Pangklan Buton. Pembentukan kelompok itu didukung oleh Yayasa Palung tahun 2011.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours