Inkuiri Nasional Komnas HAM region Kalimantan. Foto : Istimewa
Inkuiri Nasional adalah salah satu metoda penggalian dan pengungkapan masalah yang dilakukan oleh Komnas HAM pada Mei-Desember 2014 lalu, dan telah memilih persoalan Pelanggaran HAM atas Hak Hak Masyarakat Adat di kawasan hutan Indonesia, sebagai salah topik penting saat ini yang perlu digali dan ditemukenali lebih dalam akar masalah, proses dan langkah langkah rekomendasi guna penghormatan hak hak masyarakat adat atas hutan dan rehabilitasi atas hak hak mereka yang telah dilanggar. Kegiatan ini diberi nama Inkuiri Adat, dan telah dilaporkan adanya 30 bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat yang berkaitan dengan wilayah adatnya di kawasan hutan, mulai dari hak sipil, hak ekonomi, hak politik dan sosial dan budaya.
Salah satu dasar bagi pelaksanaan Inkuiri Nasional adalah Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No.35/PUU-X/2012 yang meralat pasal 6.1, dan beberapa pasal lain yang terkait, dari UU No 41/1999 tentang Kehutanan serta Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementrian dan Lembaga (NKB 12 K/L) atas konflik yang ada di kawasan hutan. Putusan MK atas perkara No.35/PUU-X/2012 merupakan pengakuan status masyarakat hukum adat musti dipulihkan sebagai “penyandang hak” (disebut juga subjek pemangku hak atau right-bearing subject), subyek hukum tersendiri, dan pemilik wilayah adatnya.
Sebagai bagian dari Inkuiri Nasional Komnas HAM, Sajogyo Institute bersama lembaga masyarakat sipil lainnya, terlibat menyebarluaskan pengetahuan melalui Diskusi Publik tentang Hak – Hak Masyarakat Hukum di Dalam Kawasan Hutan Paska Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. Melalui serangkaian aktifitas dalam mendukung dan memfasilitasi proses Inkuiri Nasional khususnya dalam penyediaan naskah kajian kasus-kasus pelanggaran HAM atas masyarakat adat dan wilayahnya bersamaan dengan proses penguatan saksi.
Penyusunan Scenario building (visioning) Masyarakat Adat atas Wilayah Adatnya, bertujuan antara lain : membantu masyarakat adat mengetahui peluang dan tantangan ruang politik dan hukum dalam 10 tahun mendatang. Menyusun secara sistematis respon yang diperlukan terhadap berbagai situasi yang berbeda utuk memastikan kembalinya hak hak masyarakat adat.
Ada 9 naskah scenario building (visioning) Masyarakat Adat atas Wilayah Adatnya, yaitu SKENARIO I : Pemerintah “baik”, Gerakan Masyarakat Adat “baik”, terdiri dari naskah naskah berjudul Mimpi-Mimpi Nyata dari Nawa Cita dan Pemerintah dan Investasi Versus Masyaakat Adat (Nestor Rico Tambunan) dan naskah berjudul Jokowi, Persepsi Imajinasi (Amrosius Ruwindrijarto). SKENARIO 2 : Pemerintah ‘baik”, Gerakan Masyarakat Adat “buruk”, terdiri dari naskah berjudul Jangan Terlalu Berharap Pada Jokowi (Oloan Budiman Francis Naibaho) dan naskah berjudul Kebaikan yang Senantiasa Tertunda (Sapariah Saturi Harsono). SKENARIO 3 : Pemerintah ‘buruk”, Gerakan Masyarakat Adat “baik”, terdiri dari naskah berjudul Revolusi Mental Sukses Tunggangi Globalisasi (Oloan Budiman Francis Naibaho) dan naskah berjudul Bukan Kawan Seiring Sejalan (Sapariah Satur Harsono). SKENARIO 4 : Pemerintah ‘buruk”, Gerakan Masyarakat Adat “buruk”, terdiri dari naskah berjudul Menjadi Sampah Sejarah (Ambrosius Ruwindrijarto) dan naskah berjudul Kondisi-Kondisi Pahit dalam Situasi Kusut (Nestor Rico Tambunan). Selanjutnya naskah-naskah tersebut di-buku-kan dengan judul: “ Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya”.
Selain itu pada Agustus-November 2014 telah berlangsung Dengar Keterangan Umum (DKU) Pelanggaran HAM Masyarakat Adat dan wilayahnya dipimpin langsung oleh Ketua Komisioner National Inquiry Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, bersama sama Ibu Tiur Timiur Situmorang (Komnas Perempuan), Bapak Dr. Eny Suprapto, Bapak Prof. Hariadi Kartodihardjo.
Proses DKU bersifat terbatas diilakukan di region Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Maluku dan Papua pada 40 kasus yang dilaporkan. Selain para saksi dari masyarakat adat yang diundang, juga saksi dari pihak-pihak yang diadukan seperti perwakilan dari Kementerian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementrian Perkebunan, Pemerintah Daerah, Kepolisian, Militer dan perusahaan terkait untuk juga dapat mengungkapkan pandangannya terhadap masalah tersebut. Kegiatan DKU juga dihadiri oleh masyarakat umum seperti perwakilan masyarakat adat, LSM, akademisi dan wartawan dengan jumlah terbatas.
DKU di tingkat nasional secara khusus juga mengangkat kasus-kasus pelanggaran hak perempuan adat atas wilayah adatnya pada tanggal 16 Desember 2014 di Jakarta. Hadir dalam DKU tingkat nasional ini 4 perempuan adat sebagai korban dan saksi. DKU khusus pelanggaran hak perempuan adat ini dianggap penting untuk didukung oleh Sajogyo Institute untuk diselenggarakan secara terpisah, mengingat sering luputnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan baik dalam catatan laporan maupun dalam persidangan pelanggaran HAM itu sendiri. Diselenggarakan secara khusus oleh Komnas Perempuan, DKU Pelanggaran Hak Perempuan Adat atas Wilayah Adatnya ini dibuka oleh ketua Komnas Perempuan, IbuYuniati Chuzaifah dengan menghadirkan saksi ahli : Romo Peter Kaaman dan Dr.Mia Siscawati.
Selanjutnya sebagai penutupan dan diskusi penyampaian hasil dari Inkuiri Nasional, diselenggarakan DKU umum dalam bentuk Lokakarya Penyampaian Catatan Kritis dan Tindak Lanjut Hasil Inkuiri Nasional Indonesia pada tanggal 17 Desember 2014 di JakartaDKU secara nasional ini telah menghasilkan catatan penting untuk segera direspon oleh pemerintah Indonesia kedepan terkait penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pelangaran HAM atas sumberdaya hutan . Hadir pula perwakilan dari Komisi Yudisial- Bapak Suparman Marzuki dan Ketua KPK, Bambang Wijayanto, SH , Anggota Kompolnas Dr. M. Nasser, perwakilan pemerintahan seperti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agaria dan Tataruang, Kementerian Pertanian khususnya Dirjen Perkebunan, Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal, Kementerian Sosial, Kementerian BUMN, Bappenas, Kementerian PPPA dan Mabes POLRI dan TNI.
Dilaporkan oleh Komnas HAM ada 30 bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat yang berkaitan dengan wilayah adatnya. Mulai dari hak sipil, hak ekonomi, hak politik dan lain-lain. Diperlukan landasan hukum yang jelas terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat adat serta pemulihan atas hak haknya yang telah dilanggar. Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUUPPMHA) harus tetap menjadi prioritas.
Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Program Penyediaan Naskah Kajian dan Penguatan Inkuiri Nasional, Sajogyo Institute 2015.
+ There are no comments
Add yours