Foto : amantanobatak.files.wordpress.com
Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 disambut hangat masyarakat adat di nusantara. Termasuk komunitas Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara. Anggota AMAN Wilayah Tano Batak ini menegaskan wilayah adatnya dengan membuat peta wilayah adat secara partisipatif dan telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara melalui Seketaris Daerah pada 3 Oktober 2014.
Tersosialisasikannya hutan adat bukan lagi hutan negara membuat masyarakat adat lebih semangat mempertahankan kembali wilayah adatnya dari klaim pemerintah sebagai hutan negara. Dalam audiensi AMAN Tano Batak bersama Komunitas Adat yang diterima Bupati Tapanuli Utara. Bupati berkomitmen membentuk tim penyusun Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan tanah/hutan adat di Tapanuli Utara. Saat itu Bupati berjanji menyurati Menteri Kehutanan agar perusahaan yang sedang beroperasi di tanah/hutan adat berhenti sementara sampai menunggu keluarnya Perda tersebut.
Kepemilikan wilayah adat Huta Napa
Ompu Ronggur Simanjuntak adalah keturunan dari Raja Mardaup, salah satu Raja dalam silsilah Marga Simanjuntak selain Raja Parsuratan, Raja Sitombok dan Raja Huta Bulu. Ia merupakan anak dari Saurniaji, anak bungsu dari Parandjak dan Sitorban Dolok. Keturunan dari Saurniaji adalah Oppu Ronggur dan Panganar.
Oppu Ronggur menikah dengan Boru Sihombing dari huta Butar. Setelah menetap beberapa waktu di Lumban Rang, Oppu Ronggur bersama ayahnya Oppu Saurniaji pindah ke huta Siparendean. Kemudian pindah ke huta Aek Napa Negeri Sabungan Ni Huta. Disana mereka bertemu anggi doli (adik) Oppu Bolus keturunan Sibadogil (kakek dari Saurniaji). Oppu Ronggur dan Oppu Bolus memberi nama huta Aek Napa. Hubungan Oppu Ronggur dan Oppu Bolus pun semakin dekat sebagai sahabat dan juga sebagai saudara dekat. Setelah itu mereka pindah dari Aek Napa ke Siparendean. Meski demikian keturunan Oppu Ronggur masih tetap mengusai tanah adat Aek Napa seperti hutan kemenyan, bertanam padi, kolam ikan, dan lainnya.
Tahun 1900, Saring-saring (tulang-belulang) Oppu Saurniaji, Oppu Ronggur, Oppu Garontam, Oppu Patumamak, Oppu Soala, oleh keturunnya dipindahkan dari Napa ke Siparendean. Tahun 1963 dibangun tugu Oppu Saurniaji dan istrinya Boru Sitompul bersama anaknya Oppu Ronggur dan istrinya Boru Sihombing. Sedangkan kuburan dari Oppu Bolus masih tetap di Huta Aek Napa sampai saat ini.
Tahun 1970 perusahaan masuk dengan tujuan mengembangkan pertanian kopi di Huta Adat Aek Napa. Keturunan Oppu Ronggur saat itu tidak berdaya melawan karena sering mendapat ancaman dan initimidasi.
Berlanjut pada tahun 90-an perusahaan menanami eucalyptus di Huta Aek Napa, tanpa sepengetahuan keturunan Oppu Ronggur. Upaya keturunan Oppu Ronggur dan Oppu Bolus menuntut perusahaan meninggalkan Aek Napa tidak berhasil. Pada tahun 2004 masyarakat melawan dengan menaman palawija di Napa, tetapi tanaman dirusak dan masyarakat kembali diintimidasi.
Akibat perampasan dan penghancuran hutan kemenyan oleh perusahaan, dari 170 keluarga (KK) anggota komunitas adat yang tersisisa, hanya 40 KK yang tetap menyadap pohon kemenyan dari hutan adat. Kemenyan merupakan salah satu potensi selain pinus, meranti, kopi, padi dan sayur-sayuran.
4 kilogram adalah hasil maksimal yang bisa didapat kaum laki-laki, setelah menempuh 20 Km menyadap kemenyan dari Senin sampai Sabtu. Harga pasaran 1 kg getah kemenyan kualitas terbaik adalah Rp. 120.000. Kaum perempuan yang tinggal di kampung mengusahakan hasil hutan non kayu seperti kopi, padi, sayuran.
+ There are no comments
Add yours