Mengangkat Kepemimpinan Perempuan, Mengatasi Krisis Sosial-Ekologi di Nusantara

Lima pemimpin perempuan yang menolak eksploitasi sumber daya alam berkumpul dan berbagi kisah. Kali ini, perempuan berada di posisi paling depan mengatasi krisis sosial ekologi Nusantara.

Siang itu, 23 Juni 2015 berlokasi di Kampus Salemba, Universitas Indonesia, perjuangan perempuan di berbagai lokasi di Nusantara, dari Sumatera hingga Sulawesi menjadi topik utama diskusi. Lebih dari 100 peserta perempuan dan lelaki hadir. Mereka berasal dari berbagai kalangan; dosen, mahasiswa, peneliti, media massa, LSM, kementrian kehutanan, lembaga riset pemerintah, dan lembaga donor.

Pentingnya mengangkat peran perempuan di balik setiap perjuangan disampaikan oleh Sulistyowati Irianto (ketua Program Pascasarjana UI) dalam pembukaannya. Lebih khusus, perjuangan perempuan adat masih sangat jarang mendapat perhatian dari para peneliti. Menurutnya, hal ini sungguh sangat disayangkan, karena hasil penelitian penting untuk menjadi referensi para hakim saat mengambil keputusan.

Berlanjut ke acara utama, dari Garut, Jawa Barat, Nissa Wargadipura – Pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thariq menceritakan bahwa upayanya untuk kembali kepada alam, pertanian organik dan heterokultur – berdasarkan kebutuhan keluarga; telah berhasil mengantarkan anak-anaknya sampai lulus kuliah di sebuah pendidikan tinggi ternama di Indonesia.

Rusmedia seorang petani kemenyan dari Sumatera Utara menceritakan kesulitan yang saat ini mereka hadapi karena adanya perusahaan besar yang datang dan membawa kerusakan lingkungan. Sungai rusak, ternak mati keracunan dan gagal panen seringkali terjadi dan membuat mereka kekurangan bahan pangan.

Senada dengan Rusmedia, Gunarti dari Sedulur Sikep, Pati, Jawa Tengah menceritakan pengalamannya bersama komunitasnya yang berjuang perusahaan semen. Mereka berhasil menghadang pendirian Indosemen pabrik semen pada tahun 2009, tetapi saat ini mereka menghadapi pabrik baru. Dan perjuangan kembali dimulai.

Aleta Baun dari Mollo, NTT, yang menerima penghargaan internasional Goldman Environmental Prize karena perjuangannya menolak tambang melalui tenun, menekankan pentingnya “mau, berani dan peduli” dalam berjuang.

Pemapar terakhir, Eva Bande dari Banggai, Sulawesi Tengah menceritakan pengalamannya mendampingi petani melawan ekspansi perusahaan sawit besar dan bagaimana kemudian dia harus dipenjara karena perjuangannya. Bagi Eva, yang merupakan ibu 3 orang anak, momen terberat adalah saat ia harus berpisah dengan ketiga anaknya dan mendengar anaknya dicela di sekolah karena ibunya di penjara. Namun, dia tidak pernah menyesali perjuangannya.
Kelima perempuan sepakat dan menekankan bahwa perjuangan penting dilakukan bersama oleh lelaki atau perempuan. Mereka menggarisbawahi bahwa keberhasilan negosiasi dengan keluarga dan memperoleh dukungan mereka adalah modal utama mereka untuk berjuang.
Saat ini, situasi masyarakat Rusmedia dan Gunartilah yang genting untuk mendapat dukungan dalam konfliknya dengan perusahaan besar. Karena itulah, mereka berdua secara khusus mengungkapkan kekecewaannya karena menteri KLHK berhalangan hadir.

Acara kemudian ditutup Mia Siscawati (PSKG UI) dan Edi Suprapto (RCTI). Mia menekankan bahwa pengalaman perempuan adalah pengetahuan dan bahwa meski perempuan berjuang dalam visi yang sama dengan rekan lelakinya, mereka seringkali menghadapi tantangan yang lebih berlapis dibandingkan rekan lelakinya. Sementara itu secara khusus, Edi menyatakan kesannya dengan endurance para pejuang perempuan.

Acara ini diselanggarakan oleh Sajogyo Institute, PSKG-UI, The Asia Foundation dan Mongabay.(Dian Ekowati)

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours