Simulasi perjalanan wisata di Kasepuhan Ciptagelar. Foto : Dhika | Samdhana
Sebanyak 9 komunitas adat berbagi informasi tentang potensi wisata budaya dan alamnya. Kegiatan yang dilaksanakan pada 20-22 Juni 2015 tersebut bertujuan mendorong kemampuan komunitas adat, untuk mengelola sumberdayanya. Para peserta berlaku sebagai wisatawan dengan dipandu komunitas adat ciptagelar di kawasan pegunungan Halimun Jawa Barat. Sembari membayangkan kondisi di wilayah adatnya masing-masing, para peserta belajar merancang paket wisata.
Saat bertualang, seluruh peserta aktif menggali potensi dan daya tarik wisata di Ciptagelar. Sebagai contoh kampung adat yang juga sering dijadikan lokasi wisata.
Pada kesempatan yang sama, Abah Ugi, pemimpin adat Ciptagelar keberatan jika tempat tinggalnya disebut kampung wisata. Pemimpin adat yang juga menggemari teknologi tepat guna tersebut menyampaikan, hingga saat ini, wisata belum bisa berjalan terpadu dengan adat di Ciptagelar.
Seringkali pengunjung mengharapkan fasilitas seperti lokasi wisata pada umumnya. Padahal, Ugi dan warganya belum pernah menjual kampungnya sebagai “tujuan wisata”. Namun Ugi dan warganya secara rutin menjalankan upacara adat terkait siklus hidup padi. Barangkali itu yang banyak menarik pengunjung datang.
Ugi berujar, memuliakan padi, yang membedakan Ciptagelar dengan kampung lainnya. Di kampungnya, beras tidak cuma dimuliakan dengan berbagai upacara adat dalam setiap tahapan tanam hingga panen tapi jgua terlarang dijual belikan, lanjut Ugi.
Namun begitu, Ugi tak menolak kedatangan pengunjung ke ciptagelar, Ia akan menyambut siapapun yang berkenan dating ke kampungnya. Ugi dan warganya menganggap kunjungan wisata sebagai “duduluran” yang dapat memperluas jejaring persaudaraan, sekaligus mendatangkan berkah.
Potensi alam nusantara yang eksotis, berupa lanskap daratan maupun pesisir atau laut yang memukau, direncanakan menjadi daya tarik wisata di beberapa wilayah adat. Secara bergantian, para peserta yang mewakili komunitas adatnya menceritakan beragam potensi dan idenya berupa kemasan paket wisata.
Pesona bahari dan budaya di Timur Nusantara
Misalnya di Malaumkarta, Papua Barat, yang relatif dekat dengan lokasi wisata Raja Ampat. Meski tak setenar Raja Ampat, Malaumkarta memiliki keindahan laut yang tak kalah menakjubkan. Masyarakat setempat menyebutnya Pasir Dangkal, karena pasang surut laut, kita seolah mengambang di pulau-pulau kecil. Papeda beserta ikan kuah kuning selalu menjadi andalan kuliner khas papua.
Dari komunitas adat Haruku, senada dengan Malaumkarta, wisata alam berupa snorkeling di laut biru jernih dan pemandian air panas juga ditawarkan. Kegiatan wisata yang dikombinasikan dengan workshop kuliner dan eksplorasi sejarah rempah menjadi andalan. Cliff, perwakilan komunitas tersebut menawarkan atraksi melihat maleo yang ditangkarkannya bersama warga.
Pesona bahari juga ditawarkan oleh komunitas adat dari Togean, Sulawesi Tengah. Budidaya ikan dan udang dijadikan daya tarik wisata oleh Ardi, yang mewakili Togean. Mirip seperti lokasi lainnya, snorkeling dan memancing ikan menjadi andalan. Namun, Ardi manambahkan, daya tarik lain di wilayahnya adalah bangkai pesawat, peninggalan perang dunia kedua, yang kini menjadi tempat hidup terumbu karang dan ikan-ikan.
Pesona bentang alam daratan berpadu dengan budaya
Masih di Sulawesi Tengah, di komunitas adat Ngata Toro, bentang alam serta daya tarik Taman Nasional Lore Lindu, dengan beragam satwa endemiknya menjadi daya tarik utama untuk wisata. Okta, yang mewakili Ngata Toro meyakinkan bahwa sajian kuliner khas berupa ayam yang dimasak dalam bambu yang dikenal dengan sebutan Tuwu akan memanjakan lidah pengunjung. Selain itu, kain yang berbahan kulit kayu akan menjadi oleh-oleh yang selalu diingat. Pengalaman petualangan berkuda ke hutan dan pemukiman Ngata Toro akan membuat kita merasakan kedamaian pemukiman yang dihuni warga yang berbeda kepercayaan tersebut.
Petualangan menunggang kuda, juga ditawarkan komunitas adat Mollo yang berbatasan dengan Cagar Alam Gunung Mutis, di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Di Mollo, kuda dipelihara di padang gembala secara liar. Komunitas ini menjadikan selendang tenun khas Mollo sebagai andalannya. Pengunjung akan diajak untuk belajar menenun. Tak terlalu mengandalkan pesona alam, Mollo mengajak pengunjung untuk belajar budaya dan bahasa daerahnya. Menurut Maxi, selendang tenun khas mollo akan menjadi cinderamata yang diingat pengunjung.
Keberadaan lokasi wisata yang sudah terkenal seharusnya bisa menguntungkan komunitas adat di sekitarnya untuk mengelola wisata budaya. Seperti komunitas adat Karang Bayan di Lombok Utara yang lokasinya dekat dengan Desa Senaru dan Sembalun, akses masuk Gunung Rinjani. Namun, wisata adat dan budaya Karang Bayan belum setenar gunung tertinggi di Lombok tersebut. Masih perlu promosi, ujar Renaldi, putra Karang Bayan yang mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lombok. Saat ini, para proses penenunan kain secara tradisional masih menjadi atraksi wisata utama di kampungnya, lanjut Renaldi.
Kegiatan wisata ziarah dan budaya ditawarkan komunitas adat dari Sumatera Utara, Sianjur mula-mula, Kabupaten Samosir. Selain air yang memiliki 7 rasa, jeruk purut juga menjadi daya tarik kampungnya, ujar Reinhard Sinaga yang juga mendorong gerakan pelestarian budaya bernama save ruma batak. Reinhard beserta komunitasnya berencana untuk membangun kembali rumah adat di Sianjur mula-mula, untuk wisata ziarah, pungkasnya.
Senada dengan teman sedaerahnya, komunitas adat Siregar Aek Nalas di Toba Samosir juga menawarkan rumah adat yang khas dengan ukiran gorga. Selain pesona danau toba yang telah dikenal, tari tortor yang diiringi gondang juga ditawarkan komunitas ini, kata Jakob siringo-ringo yang mewakili komunitas tersebut. Pengalungan ulos ragi hotang sebagai tanda pengikat persaudaraan menambah daya tarik, lanjut Jakob.
Seluruh komunitas adat tersebut mencoba merancang kegiatan wisata sekaligus menghitung biayanya. Namun, dari keseluruhan komunitas adat tersebut, faktor akses dan biaya transportasi mengambil porsi terbesar pada paket wisata. Sebuah pilihan yang tak mudah, jika aksesnya terbuka, pertahanan budaya akan pengaruh buruk dari luar, tentu semakin sulit.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pengurus Besar AMAN, sebagai bagian dari Program Improving Governance for Sustainable Indigenous Community Livelihoods in Forested Areas (SICoLIFe) yang didanai oleh Japan Social Development Fund (JSDF). [Andhika Vega]
+ There are no comments
Add yours