Membangun Jembatan Solidaritas untuk Papua : Peluncuran Gerakan #PapuaItuKita

Papua dalam persepsi umum publik diluar Papua lebih dikenal sebagai ‘daerah konflik’, menyeramkan, tempat sering terjadinya penembakan sipil maupun militer, gerakan separatis atau OPM, wilayah kuasa pertambangan Freeport, bentangan alam dengan kekayaan keanekaragaman hayati, daerah Otonomi Khusus namun terbelakang. Informasi ini kadang terdistorsi oleh pemberitaan subjektif dari media-media mainstream yang dikuasai kelompok berkepentingan.

Pengetahuan sedikit ini menjadi kesadaran sehari-hari banyak masyarakat Indonesia yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan orang Papua, tanpa mengetahui sejarahnya dan situasi sebenarnya. Sementara stigma terhadap orang Papua, baik pelabelan separatis maupun prasangka warna kulit, pelan-pelan merayap dan terus hidup di dalam pikiran orang-orang Indonesia. Stigma ini dipelihara juga oleh pemberitaan media serta pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah di Jakarta terhadap Papua. Pendekatan keamanan dan militerisasi tidak berubah banyak, walau otnomi khusus dianggap solusi. Pendekatan keamanan memperkuat stigma terhadap orang-orang Papua.

“Dalam situasi ini, kita sebagai publik biasa, membutuhkan jembatan kebudayaan yang dapat menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi dikalangan masyarakat Papua dengan apa yang diketahui masyarakat Indonesia,” terang Zely Ariana, aktivis Gerakan #PapuaItuKita

Jembatan itu adalah gerakan PapuaItuKita, gerakan yang bertujuan untuk mengantar dan meraih kepedulian solidaritas masyarakat Indonesia agar memahami situasi masyarakat Papua, tanah dan kehidupannya, maupun praktik peminggiran masyarakat asli Papua, perampasan sumber kehidupan mereka dan minimnya ruang kebebasan hidup dan demokrasi di Papua, jelas Veronika, aktivis PapuaItuKita dalam peluncuran Gerakan PapuaItuKita yang berlangsung di Parkir Plaza Taman Ismail Marzuki, Sabtu, 13 Juni 2015.

Peluncuran gerakan PapuaItuKita ditandai dengan peluncuran album lagu-lagu PapuaItuKita dan dinyanyikan oleh group musik asal Papua dan Jakarta. Juga cerita dan testimoni tetang tentang kehidupan masyarakat Papua, kehadiran investasi kehutanan dan perkebunan kelapa sawit, tarian dan vocal group dengan lagu daerah yang menceritakan kehidupan orang Papua melalui lagu-lagu Mambesak, pertunjukkan ‘barapen’ masak bakar batu dan pemutaran film kasus Paniai, serta pengenalan media sosial PapuaItuKita.

Web_PapuaItuKita3

“Aksi awal ini untuk memberikan pengenalan dan membuka ruang berinteraksi untuk menggalang dukungan masyarakat. Aksi-aksi selanjutnya diharapkan setelah ada pemahaman, maka ada dukungan masyarakat Indonesia terhadap Papua, khususnya kelas menengah dan publik terorganisir, yang diharapkan dapat bersama bersolidaritas untuk mendorong perubahan dan memperbesar ruang demokrasi di Papua hingga dapat menekan dan merubah pendekatan pemerintah terhadap pembangunan di Papua dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM,” jelas Veronika.

Bagaimanapun peristiwa perampasan hak masyarakat dan kekerasan hingga berdarah-darah ditanah Papua harus dihentikan. Kekerasan berdarah-darah di Papua merupakan potret wajah Indonesia hari ini. Hal ini disampaikan oleh Pdt Dr. Benny Giay dalam pidato kebudayaan pada acara PapuaituKita

“Setiap papua berdarah itu Indonesia punya wajah yang dipertontonkan”, ungkapnya.

Pdt Dr. Benny Giay mengharapkan semoga papua bisa bangkit, dengan begitu Indonesia baru bisa bangkit.

Web_PapuaItuKita4Perjuangan Merebut Masa Depan

Papua adalah salah satu dari sedikit wilayah yang memiliki tutupan hutan masih sekitar 80 persen, yang mana 50 persen keanekaragaman hayati dunia ada disana. Dalam isu permasalahan pemanasan global sebagai akibat terjadinya perubahan iklim, hilang dan meluasnya kerusakan hutan, maka keberadaan Papua yang memiliki lingkungan alam yang baik menjadi sangat penting bagi keselamatan masa depan nasib manusia di Papua, di Indonesia dan di dunia.

Ungkapan ini disampaikan Hilmar Farid, salah satu penutur cerita sejarah dalam peluncuran gerakan PapuaItuKita.
“Papua itu sekaligus masa depan kita. Jadi perjuangan bagi pembebasan Papua, bukan hanya untuk meluruskan sejarah yang dibengkokkan, bukan hanya untuk mengangkat sejarah yang diabaikan, tetapi perjuangan merebut masa depan sekarang”, ungkap Hilmar Farid.

Hilmar Farid juga menyampaikan, solidaritas perjuangan terhadap orang Papua, bukan hanya berdasarkan ingatan penderitaan (memmoria passionis), bersimpati dan berempati juga penting tetapi tidak cukup. Gerakan solidaritas perjuangan Papua hendaknya tidak berpijak dari rasa iba, gerakan solidaritas harus berpijak pada satu kepentingan, kepentingan untuk sama-sama bebas dari penindasan dan ketidakadilan. (Anky, Juni 2015).

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours