Menjamin Akses Publik atas Informasi Kehutanan di Era Digital

Martua T. sirait saat memberikan kesaksian sebagai saksi ahli pada sidang PTUN Jakarta. Foto : Istimewa

Sengketa informasi antara Koalisi Masyarakat Sipil dengan Kementerian LHK tentang Dokumen Perizinan Kehutanan berlanjut ke PTUN Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil diwakili Citra Hartati SH, MH menggugat Kementerian Kehutanan (sekarang KemenLHK) karena menutup akses terhadap dokumen peta perizinan kehutanan dalam format digital shapefile. Data ini akan digunakan sebagai bahan analisis tumpang tindih perizinan kehutanan, menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis (SIG). Analisa menggunakan data shapefile perizinan kehutanan yang resmi diterbitkan oleh KemenLHK untuk menjamin tingkat akurasi dan validitas hasil analisisnya.

Shapefile merupakan bundel file/berkas digital yang salah satunya adalah untuk melakukan komputerisasi analisis keruangan. Pertukaran data berupa shapefile dimaksudkan agar analisa keruangan bisa dilakukan pada ketelitian yang setingkat dengan sumber aslinya. Sebagai pembanding, data resmi dalam format gambar (jpeg, tif, dsb) harus melalui pengolahan sedemikian rupa yang menyebabkan ketidaksamaan akibat faktor kesalahan manusia.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Forest Watch Indonesia (FWI) juga menjalani proses penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP). Putusan Majelis Komisioner KIP pada 13 Februari 2015 menyatakan bahwa dokumen perizinan dan rencana pengelolaan kehutanan secara substantif merupakan dokumen publik yang sifatnya terbuka.

Kasus keberatan terhadap Putusan Komisi Informasi Pusat no. 339/VII/KIP-PS-A/2014 haruslah dipandang sebagai instrumen untuk mendukung penanganan dan pencegahan konflik sumber daya alam dan suatu usaha sistematis pembenahan tata kelola hutan dan lahan. Penting untuk menganalisis tumpang tindih perizinan dengan kawasan hutan dan wilayah kelola masyarakat. Pada beberapa kejadian ditengarai perizinan diberikan secara tidak transparan, penerima izin menguasai lahan sampai di luar kawasan hutan, dan bertumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat.

Martua T. Sirait, Direktur Pengembangan Kebijakan Samdhana Instistute pada kapasitasnya sebagai ahli dalam sidang banding sengketa di PTUN Jakarta, 21 Mei 2015, menyatakan bahwa data shapefile membantu mempercepat dan menjaga akurasi dalam menganalisa data publik yang menjadi dokumen terbuka. Seperti halnya peta pengukuhan hutan yang dijamin merupakan dokumen publik menurut PP 44/2004 pasal 22, tetapi kenyataannya tidak tersedia berkas shapefile maupun pdf-nya.

Peta dalam format shapefile bisa digunakan sebagai alat analisis tumpang tindih dengan peta peta lain, mendapatkan wilayah arsiran-arsirannya, dan menghitung luasannya. Untuk melakukan antisipasi keamanan data, cukup dengan penerapan self declaratory atau sering disebut disclaimer. Badan Informasi Geospasial (BIG) sudah menerapkannya, bahkan bersama UKP4 telah melakukan publikasi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru terhadap Hutan Primer (PIPPIB) dalam format shapefile.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang gencar mempromosikan cara penyelesaian konflik kehutanan melalui cara non-litigasi. Melalui surat Edaran (SE) No. SE 1/2015, mengamanatkan Perum Perhutani, Balai Konservasi SDA, Balai Taman Nasional, Pemegang Ijin dan Pemegang Hak untuk mengedepankan cara penyelesaian konflik/sengketa dan pengaduan masyarakat melalui cara dialog, tanpa represi, dan menghormati prinsip prinsip HAM seperti yang diamanatkan dalam UU 41/1999. Data dalam format shapefile sangat dibutuhkan untuk dapat menjalankan surat edaran KemenLHK ini secara partisipatif.

Dibukanya dokumen perizinan dalam format shapefile yang dapat diakses publik, dapat mengurangi pengaduan konflik kehutanan yang terus meningkat (data dari KLHK dalam 3 bulan terakhir sudah ada 296 pengaduan sejak dibuka tgl 19 Maret 2015, hingga awal Mei 2015). Masyarakat bisa melakukan sendiri proses analisis peta, baik sendiri maupun kelompok. Membantu meringankan beban pemerintah, mencegah konflik dan mengarahkan penyelesaian konflik dengan pendekatan pengetahuan dalam perencanaan di tingkat tapak.

Martua mencontohkan Permen MenLHK no P12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri dalam pasal 8 tentang Kelola Sosial dan Lingkungan. Pemilik izin diwajibkan menata ruang wilayah kerjanya minimal 20% untuk tanaman kehidupan bagi masyarakat, minimal 10% tanaman perlindungan lingkungan dan 70% maksimal tanaman pokok. Tanpa dibukanya dokumen wilayah kerja pengusahaan beserta rencana tata ruangnya dalam format shapefile kepada publik, menyulitkan Pemda dan masyarakat terlibat dalam proses penetapan wilayah kerja dan keterlibatan masyarakat dalam proses menetapkan tata ruang wilayah HTI yang akan dialokasikan bagi masyarakat.

Demikian halnya peraturan bersama 4 Kementrian (PU, Kehutanan, BPN dan Kemendagri) dalam Permen no PB. 3/2014 tentang penyelesaikan hak hak rakyat di kawasan hutan, yang melibatkan masyarakat desa sebagai anggotanya. Ini juga memerlukan dokumen perizinan dan peta pengukuhan hutan dalam format shapefile yang dapat diakses publik secara cepat oleh tim IP4T yang dikoordinasikan oleh BPN di setiap kabupaten, merujuk pada ajuan masyarakat, untuk segera menetapkan status 30.000 desa yang bertumpang tindih dengan kawasan hutan. Pengajuan masyarakat akan sulit dilakukan jika dokumen itu tidak dapat diakses masyarakat langsung dalam format shapefile yang bisa ditumpangtindihkan dengan peta desanya.

Sementara bahan bahan yang disediakan untuk diakses publik melalui Web GIS KemenLHK, sangat terbatas (lihat tautan http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/). Bagi masyarakat pengguna SIG akan segera tersadar bahwa Web GIS KemenLHK tidak menyediakan menu analisis tumpang tindih dan perhitungan luas. Menu pengunduhan disembunyikan berkas url-nya, dan jika diunduh, pengguna secara otomatis hanya mendapatkan berkas dalam format yang tidak dapat dianalisis. Berbeda halnya dengan berkas dalam format feature map, yang dapat digunakan untuk analisis. Pada saat yang sama keamanan an akurasi data dalam format feature map pun terjamin dan datanya tidak bisa diubah ubah oleh pengguna siapapun. Dapat disimpulkan bahwa secara tehnis perpetaan data data ini memungkinkan untuk dapat diakses publik, dengan tingkat ketelitan dan keamanannya terjamin, akan tetapi kemauan KemenLHK untuk membuka akses pada dokumen publik ini masih belum kelihatan, maka langkah banding ke PTUN Jakarta ditempuh masyarakat sipil untuk mendapatkan hak-haknya.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours