Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit dalam Himpitan Devisa

Buruh sawit perempuan. Foto : Sawit Wacth

Sawit Watch, Greenpeace dan ELSAKA menyelenggarakan semiloka pada tanggal 12 Mei 2015 di Hotel Kartika Dyandra, Medan. Diikuti Organisasi Buruh, NGO, Pemerintah, Perusahaan Perkebunan Sawit, Akademisi, Organisasi Rakyat maupun individu yang telah melakukan advokasi terhadap buruh perkebunan sawit.

Semiloka ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada para peserta terhadap arti penting dan peranan buruh dalam produktivitas perkebunan sawit di Indonesia. Menginisiasi dialog terbuka, berbagi pengalaman untuk mendapatkan informasi terkait bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak buruh perkebunan sawit dan rekomendasi solusi alternative. Serta mendokumentasikan rekomendasi dan solusi yang diperoleh dari proses dialog.

Pembicara yang hadir adalah Menteri Ketenagakerjaan, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Bogor, Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Ketua Umum GAPKI, Ketua Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SBPI).

Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia pada 2014 mencapai 14,3 juta hektar, 30% diantaranya dimiliki petani. Perkebunan sawit adalah salah satu sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Jika KADIN mencatat 21 juta orang tenaga kerja langsung maupun tidak langsung, Sawit Watch mencatat 10,4 juta orang dimana 70% dari buruh tersebut berstatus sebagai buruh harian lepas.

“Baru-baru ini Jokowi menetapkan kebijakan hilirisasi untuk sawit menjadi biofuel, ini meningkatkan potensi penyerapan tenaga kerja. Apakah kita dapat menjadi bagian dari hilirisasi atau hanya menjadi penyedia tenaga kerja murah, tidak terampil dan rentan?,” papar Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch.

Sebagai sebuah industri, perkebunan kelapa sawit skala besar memberi keuntungan bagi negara. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia pada 2012 menyatakan industri ini penyumbang devisa kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas. Devisa negara yang dihasilkan adalah sebesar USD 21 miliar atau sekitar Rp 205 triliun. Penghasilan devisa tersebut setara dengan 13,7% dari ekspor non-migas Indonesia, yang besarnya mencapai USD153 miliar.

Jutaan buruh tersebut bekerja di perkebunan sawit lama di Sumatera dan wilayah perkebunan sawit baru di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Industri sawit memang memberikan keuntungan besar bagi pebisnis dan negara, tapi keuntungan tersebut tidak terlihat dalam realitas kehidupan buruh. Penelitian Sawit Watch menemukan adanya buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi karena mendirikan serikat, minim alat kerja dan alat pelindung diri yang layak, minim fasilitas air bersih dan kesehatan dan penggunaan buruh anak.

Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 100 tahun 2004 yang mengatur tentang “ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu” memberi celah perpanjangan status kerja buruh harian lepas (BHL). Buruh harian lepas tidak memiliki dokumentasi perikatan kerja dan kepastian peningkataan status. Selain itu, upah yang diterima ditetapkan berdasarkan pencapaian target kerja dan tanpa perlindungan jaminan kesehatan.

Menteri tenaga kerja Hanif Dhakiri yang hadir menilai ironis ketika perhatian sektor perkebunan adalah aspek land grab, bukan buruhnya. Menteri Hanif mencatat beberapa isu penting sektor ini adalah tidak adanya kontrak kerja, tidak ada formalisasi kenaikan gaji tiap tahunnya, masih ada buruh harian lepas – outsource, belum terakomodirnya semua pekerja ke dalam BPJS dan tidak diprioritaskan tersedianya K3: pelindung diri, alat kerja. “Sumbangan sektor perkebunan ke devisa Indonesia adalah 13 miliar, tetapi buruh terlupakan. Setiap tahun buruh industri menerima kenaikan gaji, tetapi buruh perkebunan tidak. Perlu ada kepastian baik pekerja dan perusahaan. Kepastian bagi pekerja tentang besarnya kenaikan upah tiap tahunnya. Kepastian bagi pengusaha adalah kenaikan upah yang dapat diprediksi,” jelas Hanif.

Selain itu, kebebasan berserikat adalah isu yang harus selalu mendapat perhatian. Perusahaan yang melarang hal ini bisa dipidana.

Di akhir paparannya, Menaker menyatakan bahwa saat ini Pemerintah sudah lebih terbuka dan berharap bahwa gerakan tidak lagi melihat pemerintah sebagai lawan, tetapi sebagai rekan untuk bekerjasama. Selain itu, Menaker juga berharap adanya rekomendasi alternatif dari peserta untuk mengatasi masalah-masalah perlindungan buruh.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours