Yewena : Antara Ruang Hidup, Ancaman dan Perlindungan Alam Eksotis #2

Oleh: Andhika Vega Praputra

Yehuda Demotouw Ketua Dewan Adas Suku (DAS) Tepra dan warganya telah lama menyimpan kekhawatiran. Proyek pembangunan pelabuhan peti kemas yang direncanakan di ibukota kecamatan Depapre merisaukannya. Meski tak langsung berbatasan, masyarakat kampung yang berprofesi sebagai nelayan tentu akan terdampak. Ikan pasti berkurang, laut tercemar oli, arus air pun pasti berubah.

Masyarakat asli, sesuai tradisinya, hanya memanfaatkan sumberdaya alam seperlunya. Mereka tidak serakah, baru mengenal uang ketika muncul iming-iming barang konsumtif yang serba dibeli. Belum lagi gelombang gaya hidup yang mempengaruhi hingga ke tingkat kampung.

Isack Samuel Kenye -warga Yehuda- yang turut dalam diskusi menduga, dengan pola hidup seperti sekarang, masyarakatnya mungkin bisa bertahan 2 sampai 3 generasi saja. Perlu beradaptasi dengan cara hidup modern tanpa meninggalkan tradisi, ujarnya.

Melindungi Kekayaan Alam yang Eksotis

Yehuda dan Isack bertutur tentang masa kecilnya, ketika banyak satwa masih mudah ditemui di sekitar tempat tinggal mereka. Misalnya burung, seperti kakatua raja (Probosciger aterrimus), cenderawasih (Paradiseaea minor) dan Kasuari (Casuarius casuarius). Reptil seperti Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), serta mamalia seperti Kangguru pohon (Dendrolagus pulcherrimus) dan Quoll –sejenis kucing harimau, dikenal dengan nama tasmania di australia- (Dasyurus albopunctatus), yang semuanya masuk dalam IUCN red list.

Pada tumbuhan, kekayaan alam tersebut diantaranya Merbau (Instia bijuga) dan berbagai jenis anggrek hutan eksotis yang juga dilindungi. Juga pohon genemo yang kulit kayunya sering dibuat tas anyaman (noken).

Itu baru secuil dari kekayaan alam papua yang eksotis, kata Yehuda. Jika dicatat satu-persatu, akan makan waktu, lanjutnya yang berniat mendokumentasikan kekayaan alam dan tradisinya.

Di sukunya, ada beberapa aturan terkait pemanfaatan yang bertujuan melindungi alam, biasanya berupa larangan yang diterapkan komunal. Misal larangan untuk mengebom/meracun ikan, di sungai maupun laut, kata Yehuda. Larangan menebang pohon, menggali batu di dekat sumber air, dekat goa. Serta cerita masyarakat tentang burung garuda yang hidup di sekitar goa, jika dilanggar akan hujan petir, tambahnya.

Larangan pemanenan juga bisa diterapkan oleh individu, untuk melindungi hasil pohonnya agar tidak dipanen orang lain. Biasanya pohon tersebut ditandai menggunakan simbol adat, berupa ikatan di batang pohon dan dimantrai. Karena takut terkena tuah mantra, orang yang melintas tidak berani mengambil/memanennya, lanjut Yehuda.

Ada juga aturan kelola yang disepakati penerapan dan jangka waktunya secara komunal (Tiai Tei Tei –semacam sasi). Berlaku pada Misal di lokasi orang kecelakaan/hilang/meninggal, misalnya. Larangan tersebut juga bisa berlaku di pesisir/laut, biasanya untuk persediaan upacara/pesta adat.

Aturan ini tidak secara langsung terkait produksi, namun berdasar tradisi/ritus budaya. Tanda larangan –dikenal dengan nama palang- biasanya berupa ikatan pada batang pohon atau kayu melintang pada wilayah tertentu.

Dari tradisinya, masyarakat Yewena telah memiliki cara untuk melindungi penghidupan secara lestari. Namun, arus perubahan yang deras bisa dengan mudah mengikis tradisi. Menghidupkan kembali tradisi, sembari mendorong ketahanan hidup masyarakat, agar mampu beradaptasi dengan dunia modern, kami sepakati menjadi ide yang paling masuk akal menutup pembicaraan siang itu. (AVP).

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours