Yehuda Demotouw, Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Tepra. Foto : Dhika for Samdhana.
Oleh: Andhika Vega Praputra.
Sambil tergopoh membawa kayu bakar, Yehuda Demotouw menghampiri kami di rumahnya siang itu (1/5). Kala ibukota riuh dengan perayaan hari buruh, kami asyik membincangkan masyarakat adat yang (diharapkan) berdaulat atas ruang dan sumberdayanya. Barangkali ini cara kami berjuang melawan ketertindasan.
Ketua Dewan Adas Suku (DAS) Tepra tersebut baru kembali beraktivitas di kampungnya, Wambena. Hari-hari sebelumnya, ia dan perwakilan 8 DAS lain disibukkan mengawal proses pengakuan adat. Inisiatif itu didorong bersama lembaga non-pemerintah, Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (Pt PPMA) dan Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Yehuda lalu mempersilakan kami menyantap sepiring sagu berisi gula kelapa dan segelas teh manis, yang disiapkan anak perempuannya. Sambil menggendong cucu, ia lalu menceritakan ihwal tradisi sukunya mengelola sumber daya alam.
Suku Yewena, yang tergabung dalam DAS Tepra, adalah salah satu dari 9 DAS yang telah diakui surat keputusan (SK) Bupati Jayapura No. 319 dan 320 tahun 2014. Yehuda menjelaskan tradisi sukunya yang membagi fungsi ruang menjadi beberapa zona, berdasar tutupan vegetasi. Secara umum, pembagian zonanya antara lain, perlindungan, pemukiman dan pemanfaatan. Zona itu juga diterapkan di laut berdasar kedalaman dan kondisi pantai, ujarnya.
Ruang Hidup Masyarakat Adat Yewena
Di daratan, Yehuda menceritakan zona tersebut antara lain: Yo sebagai kawasan pemukiman/kampung; Masu/Puso sebagai kebun tempat tanaman sayuran, tanaman keras, dan kayu-kayu kecil; Pivau/Ovau sebagai dusun/kebun sagu, sumber karbohdirat, sekaligus penyimpan cadangan air; Sena sebagai kawasan yang sedang beregenerasi secara alami menjadi hutan, biasanya merupakan bekas Masu/Puso; serta Mera/Nero sebagai kawasan lindung, hanya bisa diakses untuk berburu saja, dan menjadi pembatas dengan wilayah berburu marga/suku lain.
Sungai dan sempadannya termasuk mata air, juga masuk ke dalam daerah yang dikeramatkan di Yewena. Pohon-pohon besar yang menjadi sarang burung, lokasi yang terjal, termasuk pegunungan cyclops dianggap sebagai pemberi hidup masyarakat Yewena. Air, baik dari sungai maupun laut, dianggap air susu ibu, sumber kehidupan utama.
Di pesisir dan laut, berbagai zona juga dikenal masyarakat Yewena. Seperti Yepa sebagai bibir pantai yang berpasir, tempat para nelayan bersandar; Bouru Tu sebagai karang terjal, tepian laut, biasanya menjadi rumah ikan, untuk berkembang biak. Aka sebagai perairan dangkal berkarang, tempat ikan sekaligus nelayan memancing/menjaringnya; serta Muso To, perairan dalam tempat ikan besar, yang hanya bisa dilalui oleh nelayan berpengalaman, karena arusnya.
Sumberdaya untuk Bersama
Selain ruang, pembagian manfaat secara adil juga telah dicoba oleh suku Yewena. Misal untuk pohon, meski haknya dikuasai individu atau keluarga yang menanam, pemanfaatannya bisa saja dilakukan oleh anggota marga/suku, atas seizin pihak yang menanam.Kebanyakan hasil kebun suku ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Sebagian lainnya lalu dijual ke pasar Sentani (ibukota Kabupaten). Biasanya berupa buah-buahan seperti durian, mangga, petai, matoa dan lain-lain, sesuai musimnya.
“Dong Petik, hitung lalu bawa ke pasar saja” kata Yehuda menceritakan hasil panen yang jarang diolah warganya.
Ruang Hidup dan Tradisi yang Terancam
Yehuda dan warganya telah lama menyimpan kekhawatiran. Proyek pembangunan pelabuhan peti kemas yang direncanakan di ibukota kecamatan Depapre merisaukannya. Meski tak langsung berbatasan, masyarakat kampung yang berprofesi sebagai nelayan tentu akan terdampak. Ikan pasti berkurang, laut tercemar oli, arus air pun pasti berubah, sambungnya.
Yehuda kian tak tenang, menurutnya masyarakat asli tidak akan mampu bersaing dengan perubahan yang mungkin terjadi. Agenda pembangunan tersebut ditengarai sebagai wujud konsep tol laut, yang didorong pemerintah pusat melalui RPJMN. Ide pelabuhan peti kemas konon telah dicetuskan sejak tahun 2008. “Pembangunan ini untuk siapa, masyarakat asli tidak butuh itu” lanjut Yehuda.
Masyarakat asli, sesuai tradisinya, hanya memanfaatkan sumberdaya alam seperlunya. Mereka tidak serakah, baru mengenal uang ketika muncul iming-iming barang konsumtif yang serba dibeli. Belum lagi gelombang gaya hidup yang mempengaruhi hingga ke tingkat kampung. Masyarakat di perkampungan bahkan dijejali berbagai barang dan perilaku konsumtif. Padahal, hari lingkungan hidup sedunia 2015 bertemakan “Seven Billion Dreams. One Planet. Consume with Care.” Nyatanya, pola hidup konsumtif semakin mengancam kehidupan juga tradisi.
Isack Samuel Kenye -warga Yehuda- yang turut dalam diskusi menduga, dengan pola hidup seperti sekarang, masyarakatnya mungkin bisa bertahan 2 sampai 3 generasi saja. Perlu beradaptasi dengan cara hidup modern tanpa meninggalkan tradisi, ujarnya.
Kebanyakan orang berbondong-bondong ingin tinggal di kota. Gemerlap kota sebagai pusat peredaran uang dan gaya hidup juga membuat masyarakat tidak lagi mengolah sumberdaya alam, tambah Isack. Memang harus kembali ke jati diri masyarakat, dengan menempatkan kepemimpinan ondoafi, ujarnya.
Bersambung ke sini
+ There are no comments
Add yours