Oleh : Sandika Ariansyah
Mulai Mengenal Wilayah Adat
Pagi menjelang, kami pun bersiap untuk turun lapang. Momen inilah yang paling ditunggu, turun lapang alias observasi. Tidak banyak perlengkapan yang saya bawa, hanya membawa kamera DSLR + tripod untuk dokumentasi foto dan video serta GPS untuk marking tempat penting dan trekking jalan. Kedua teman saya pun membawa perlengkapannya masing-masing.
Seperti yang sudah disepakati pada diskusi malam, observasi hari pertama fokus pada wilayah adat yang belum dipetakan. Jumlahnya ada sekitar 6 wilayah yaitu; Bolakme, Molagalome, Tagime, Tagineri, Piramyd dan Nanggo-Trikora. Dari 6 distrik, hanya 4 yang bisa dikunjungi yaitu Distrik Bolakme, Molagalome, Tagime, Tagineri. Dua lainnya yaitu Distrik Piramid Nanggo-Trikora tidak dapat dikunjungi karena lokasinya yang cukup jauh dengan medan jalan yang cukup berat, utamanya Nanggo-Trikora yang membutuhkan waktu sekitar 7 hari perjalanan untuk tiba di lokasi atau menggunakan helicopter untuk tiba kesana karena belum ada akses jalan menuju kesana.
Observasi ini untuk menujukan wilayah dampingan yang saat ini sedang dikerjakan oleh YBAW untuk melengkapi pemetaan wilayah adat yang sudah dilakukan. Dari hasil diskusi dengan Pak Lauren, sudah ada 19 peta wilayah adat yang sudah dipetakan di wilayah Kabupaten Jayawijaya. Program pemetaan ini sudah dilakukan sejak tahun 1996 hingga tahun 2012, sebuah proses perjalanan panjang sekitar 16 tahun lamanya. Wajar saja jika prosesnya memakan waktu yang cukup lama, karena wilayah adatnya sangat luas dengan bentang alam dikelilingi lembah dan bukit serta pegunungan terjal. Termasuk di dalamnya kawasan Taman Nasional Lorenz dan Pegunungan Trikora yang terkenal dengan salju abadi di Puncak Trikora. Selain itu ada Danau Habema, sebuah danau yang berada diketinggian 3.200 Mdpl. Luar biasa…!
19 wilayah yang sudah dipetakan tersebar hampir diseluruh wilayah Kabupaten Jayawijaya, diantaranya Aluama, Asolokobal, Asukdogima, Elagaima, Hubikosi, Inyairek, Itlaimo, Mbarlima, Muliama, Musalfak, Omarekma, Peleima, Serogo, Tuma, Uelesi, Usilimo, Weo, Witawaya, dan Wolo. Setiap wilayah adat memiliki sebaran dari setiap distrik dengan luasan yang bervariasi. Jika melihat peta sebaran wilayah adat, Inyarek memiliki wilayah adat terluas yaitu sekitar 26 ribu hektar, kemudian Uelesi dengan luas sekitar 22 ribu hektar dan Aluama dengan luas sekitar 18 ribu hektar. Sedangkan wilayah adat terkecil berada di Tuma, masuk dalam Distrik Pelebaga. Wilayah Adat Tuma diapit antara Uelesi dan Elagaima.
Setiap wilayah adat tentunya memiliki potensi unggulan yang bisa dikembangkan karena sebagian besar wilayahnya tersebar pada kawasan hutan, baik itu hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi dan suaka alam. Kemudian pada wilayah lembah dibelah oleh Sungai Baliem. Witawaya termasuk wilayah adat yang memiliki areal persawahan yang cukup subur dan termasuk salah satu lumbung padi Wamena. Selain sawah, Witawaya juga memiliki areal perkebunan sayur mayur dan palawija yang terhampar luas.
Wilayah Adat Yang Belum Dipetakan
Selama perjalan menuju lokasi wilayah adat yang belum dipetakan, mata ini dimanjakan dengan indahnya bukit bebatuan yang menjulang tinggi serta kebun milik masyarakat. Sungguh subur Lembah Baliem, nampak terlihat areal perkebunan yang ditanami jagung, ubi, bunga kol, dan tanaman palawija lainnya untuk menunjang kebutuhan hidup masyarakat. Posisi kebun masyarakat berada di pinggir jalan, sehingga mudah untuk dilihat saat melintas dan memudahkan pada saat musim panen tiba. Masyarakat akan mudah mengangkut hasil panen untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual ke pasar terdekat.
Dari 6 distrik yang belum dipetakan sebagai wilayah adat, hanya 4 distrik yang bisa dikunjngi menggunakan kendaraan, sisanya berada cukup berjauhan. Kebetulan wilayah yang dikunjungi satu jalur, mulai dari Distrik Molagalome sampai ke Distrik Tagineri. Berdasarkan informasi dari Pak Lauren, belum ada kesepakatan bersama diantara 6 distrik tersebut. Padahal secara door to do0r Pak Lauren dan Tim YBAW sudah bertemu dengan Kepala Distrik untuk membicarakan perihal rencana pemetaan wilayah adat. Namun pada saat dipertemukan secara bersamaan dalam satu forum tidak pernah kumpul semua, biasanya yang hadir hanya 2 sampai 3 Kepala Distrik. Kondisi ini yang membuat Pak Lauren bingung sendiri kenapa hal ini bisa terjadi, padahal komunikasi sudah dilakukan dengan mengundang secara formal dan informal.
Persoalan ini sudah disampaikan kepada Dinas Kehutanan (Dishut) Wamena, kebetulan Dishut terlibat aktif pada saat pelaksanaan pemetaan 19 wilayah adat. Pak Yunus selaku pimpinan atau Kepala Dinas menyambut baik program yang sedang dijalankan YBAW dan berjanji akan turut serta mendukung. Kebetulan Dishut juga memiliki program yang sama dengan YBAW, momentum inilah yang dimanfaatkan untuk menggalang kekuatan bersama untuk mewujudkan tujuan yang sama. Sepertinya perlu menggunakan pola pendekatan yang beda dengan melibatkan Dishut sebagai pihak yang mengundang 6 distrik tersebut untuk bisa hadir dalam satu forum bersama sehingga tercapai kesepakatan untuk melanjutkan kembali pemetaan wilayah adat. Saat ini proses tersebut masih berproses. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya mempersiapkan rencana kegiatan pemetaan wilayah adat, sebuah proses panjang dan melelahkan demi meraih tujuan.
+ There are no comments
Add yours