Sebanyak 22 lembaga masyarakat sipil berkolaborasi untuk festival Panen Raya Nusantara (PARARA), yang akan diselenggarakan pada 6-7 Juni 2015, di Lapangan Banteng, Jakarta. Ratusan produk ungggulan komunitas seperti madu hutan dari berbagai daerah di Indonesia, tas anyaman dari Kalimantan, dan berbagai produk pangan lokal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Kepala Sekretariat PARARA Jusupta Tarigan (JT), festival ini bertujuan mendukung ekonomi komunitas lokal secara adil dan lestari. Dimana pengelolaan produk komunitas lokal nantinya menjawab soal penghidupan masyarakat dan ancaman kerusakan lingkungan. Berbagai produk lokal sudah mulai dijual di gerai eksklusif dalam dan luar negeri dengan harga tinggi. Salah satu contohnya kopi organik, Aliansi Organis Indonesia merilis informasi bahwa statistik menunjukkan pasar kopi organik dunia pasokannya di dominasi Indonesia.
“Selain kopi, produk berbahan anyaman rotan dan tenun kalimantan juga telah mendunia melalui merk borneo chic yang diusung NTFP Indonesia”, sambung JT yang juga Direktur Non Timber Forest Product Exchange Programme (NTFP-EP Indonesia).
Sayangnya, produk komunitas juga masih dihadapkan berbagai soal. Kejelasan ruang kelola, daya produksi serta pemasaran masih menghambat perekonomian adil dan lestari berbasis masyarakat. Belum lagi soal manfaat yang seringkali belum adil bagi komunitas, padahal produknya dijual mahal di pasar internasional.
Tak sekedar perayaan, PARARA ingin menghapuskan citra produk komunitas yang biasanya dianggap buruk dan kampungan. Persoalan aturan dan kebijakan yang tumpang tindih dan belum terintegrasi, juga akan disasar PARARA. Sinergi lintas sektor terkait akan didorong sebagai agenda paska festival. Produk komunitas diharapkan lebih mudah menjangkau pembeli, melalui pemasaran bersama. Tak cuma itu, Parara akan mengedepankan komunitasnya sebagai pengelola produk bukan pendamping, lanjut JT.
Agar lebih baik menjangkau pasar, merk dan kemasan yang kreatif dicermati dalam festival PARARA. Lebih dari 200 mahasiswa desain komunikasi visual BINUS dan UNTAR merancang merk dan kemasan produk komunitas lokal.
“Mahasiswa tersebut berperan membantu produk dan komunitasnya agar lebih menarik dan nilai jualnya meningkat”, ujar Toto Mujio Mukmin, Desain Komunikasi Visual UNTAR.
Selain produksi berkelanjutan, kedaulatan rakyat atas pengelolaan sumberdaya alam tak kalah penting untuk disasar. Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yang mengelola sumberdaya alam secara lestari, perlu diutamakan. Agar ekonomi lestari dan berkeadilan lebih mudah diwujudkan.
Puluhan lembaga yang berkolaborasi dalam festival ini diantaranya NTFP-EP (Non-Timber Forest Product Exchange Programme Indonesia), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), World Wide Fund (WWF), Jaringan Madu Hutan Nusantara (JMHI), Telapak, Rumah Organik, Kehati, Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa), Yayasan Riak Bumi, Yayasan Mitra Insani (YMI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Aliansi Organik Indonesia (AOI), FKKM, GEF-SGP, Kemitraan, Perkumpulan Indonesia Berseru, JMM, Recoftc, Samdhana Institute, Warsi, dan Yayasan Dian Tama.
+ There are no comments
Add yours