The Samdhana Institute bersama mitra-mitranya di region Kalimantan, selama dua hari (23-24 Maret 2015)melaksanakan Pertemuan Regional Mitra untuk memetik pembelajaran dari dukungan hibah kecil yang diberikan ditahun 2014. Pertemuan berlangsung di Hotel Horison Bogor yang secara khusus membahas strategi-rencana kerja yang sudah dibangun dan mendiskusikan ulang hasil Pertemuan Mitra Kalimantan diakhir 2013, dengan pertimbangan dinamika politik dan kebijakan pemerintah yang berkembang.Selanjutnya membangun rencana kerja konkrit tahun 2015 dan mendiskusikan agenda pasca 2015, khususnya merespons Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, yang diinisiasi oleh KPK dan Pemerintahan Jokowi-JK yang baru ditandatangani tgl 19 Maret di Istana Negara.
2015 merupakan tahun ke enam Program Community Preparedness terhadap dampak perubahan iklim dan skema REDD+ yang didukung Samdhana kepada mitra NGO dan komunitas di Indonesia. Dukungan melalui pendanaan yang diberikan oleh Norad (Pemerintah Norwegia), Ford Foundation (FF) dan CLUA (Climate and Land Use Agency). Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, mitra-mitra regional Kalimantan telah menyeakti issue issue kunci yang perlu dilakukan Region Kalimantan. Terdapat 9 isu strategis yang telah ditetapkan pada 2013 lalu, berikut dinamika dan catatan penting.
“Program-program Samdhana terkait sekali dengan apa yang dilakukan teman-teman dilapangan. Samdhana dengan program dari NORAD, tahun 2015 ini adalah tahun terakhir. Dalam perencanaannya nanti kami berharap nyambung dan bisa terwadahi semua, bagaimana kita meng-advokasi pemerintah agar melibatkan masyarakat, memberdayakan masyarakat dengan mengembangkan livelihood dan cara-cara yang lebih sustainable. Begitu juga pembelajaran selama ini”, jelas Budi Rahardjo, Program Director Samdhana.
Dalam paparan perkembangan kegiatan terungkap beberapa capaian, kendala dan tantangan mitra kedepan. Mitra bertukar informasi terkini mengenai krisis ekologi dan sosial yang terjadi di Kalimantan.
Seperti yang dipaparkan Matheus Pilin dari Perkumpulan Pancur Kasih terkait keberhasilannya merampungkan pendampingan dan pemetaan partisipatif di 383 kampung dengan luasan 4,6 juta hektar, sejak tahun 1996. Sekaligus merespon Undang-Undang tentang Desa (UU Desa) dan putusan MK 35, yaitu menghubungkan isu lokal dengan agenda kabinet kerja terkait pengakuan wilayah adat, kedaulatan pangan, ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan desa adat, yang saat ini diarahkan pada wilayah Perbatasan. Meski krisis ekologi masih menjadi persoalan.
“Isu pendampingan atau penguatan ditingkat masyarakat ini tidak akan pernah selesai, karena semakin kuat mereka untuk memperkuat diri semakin kuat juga tantangan yang masuk. Model-model yang kita lakukan ditiru juga oleh investor,” tambahnya.
Demikian halnya dengan SLPP Kalteng, sejak 2012 mendorong masyarakat di sekitar hutan terkait REDD+ melalui pemetaan. Hasilnya pada 2013 menjadi dokumen perencanaan penggunaan lahan sebagai bahan advokasi tata ruang. Juga kegiatan pemetaan hutan adat Ulin seluas 16.000 ha. Di Kalimantan Selatan (Kalsel), SLPP Kalsel memaparkan keberhasilannya melahirkan fasilitator untuk pemetaan wilayah dan analisis kebijakan penataan ruang, salah satunya masuk kedalam RTRWP Kalsel.
Pada masa pemerintahan Jokowi-JK, muncul beberapa kebijakan baru terkait pengelolaan sumberdaya alam. Mulai dari perubahan kementrian (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementrian Agraria dan Tata Ruang dll), Implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa, UU 23/2014 mengenai Pemerintahan Daerah dan lain sebagainya, termasuk penjabaran Nawacita dalam RPJMN 2014-2019. Berbagai peluang dan ancaman yang timbul dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut perlu direspon dan disikapi dengan cepat dan tepat.
Mantan anggota tim di Kantor Transisi Chalid Muhammad menambahkan informasi bahwa sudah diusulkan dibentuk badan adhoc dibawah presiden yang mengurusi sengketa agraria, draftnya sudah dibuat dan sudah ada di kantor Seskab. Sambil menunggu badan adhoc terbentuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk Pokja khusus menangani pengaduan masalah Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ditambahkannya angka minimal 12, 7 juta hektar kawasan hutan yang harus dikelola rakyat dari target kabinet sebelumnya 2,5 juta hektar dengan realisasi hanya 0,5 juta heltar saja. Angka tersebut dari hutan produksi yang tidan dibebani hak, hutan lindung atau kawasan konservasi dan hutan produksi terbebani hak dimana perusahaan memiliki kewajiban 20 persen kawasannya untuk dikelola rakyat.
“Jadi skema 12,7 itu bisa lewat hutan adat, hutan desa, HKm,HTR serta Kemitraan. Peluang terbuka luas 12, 7 bukan angka sedikit. Kalau satu desa mengelola 1000 hektar itu artinya ada 12700 desa di kawasan hutan yang akan mengelola 12.700.000 hektar. Ada satu Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup yang akan mengurusi minimal 12,7 juta hektar itu, termasuk didalamnya tugas menyelesaikan konflik ,” jelas Chalid.
Martua T Sirait dari Samdhana Institute turut menajamkan informasi terkait rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang belum lama dirilis. Pertama KPK masuk isu kehutanan tahun 2010, yaitu dengan membuat kajian tentang kehutanan. Dilanjutkan dengan NKB 12 Kementrian dan lembaga, kemudian barulah pada pemerintahan sekarang GN-PSDA meliputi hutan, tambang, kebun dan laut.
CSO punya tugas meriview pengukuhan kawasan hutan yang sudah dilakukan Kementrian LHK, dimana Kementrian LHK pada 2014 tiba-tiba memperluas pengukuhan kawasan dari 14 persen menjadi 68 persen.
“Ini kan harus diperiksa, harus proaktif memeriksa dokumen-dokumen. Lampiran peta-nya harus kita cek dan kita bandingkan dengan peta partisipatif yang kita lakukan, serta memberikan kepastian statusnya seperti yang diatur dalam Perber P 3/2014” ungkap Martua.
Pertemuan Mitra Samdhana Region Kalimantan mengidentifikasi beberapa perubahan penting. Review roadmap dengan berbagai dinamika dan capaian penting. Krisis ekologi dan sosial masih belum berlalu, gerakan sosial terus berjalan dalam limitasinya juga pemerintah yang belum sepenuhnya responsif. Termasuk sejumlah perubahan kebijakan sebagai tantangan, perubahan kebijakan sebagai peluang baru bagi gerakan dan perlunya strategi gerakan baru dan cara kerja baru. Pertemuan ini juga melihat 3 agenda besar yang harus dijalankan yaitu; 1. Percepatan wilayah kelola rakyat dengan menggunakan momentum 12,7 juta hektar pengelolaan hutan oleh rakyat dan 9 juta hektar melalui jalur reforma agraria, 2. Reformasi Kebijakan dan Penegakan Hukum, 3. Penguatan Gerakan masyarakat sipil dengan perpektif Gender, Pemberdayaan Ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Pertemuan Mitra Region Kalimantan diikuti 13 dari 14 mitra, yaitu Perkumpulan Pancur Kasih, Perkumpulan SAMPAN, Lanting Borneo, LPS AIR, Yayasan Swandiri, PDAMANKapuas Hulu, LBBT, POKKER SHK, PW AMAN Kalimantan Tengah, Yayasan Tahanjungan Tarung, SLPP Kalimantan Selatan,SLPP Kalimantan Tengah dan BRWA Kalimantan Barat. Juga hadir mitra organisasi nasional (JKPP, AMAN, BRWA, Kemitraan dan lainnya).
+ There are no comments
Add yours