Desa Uraso Kembangkan Komoditi Lain untuk Menahan Investasi Sawit

Masyarakat Uraso dan Wilayah Hutan Temmallebongi. Foto : Wallacea Palopo

Hutan bagi masyarakat lokal semakin terasa ketika hutan itu terjaga fungsinya secara ekologi, ekonomi, dan sosial serta budaya. Sebagaimana masyarakat wilayah hutan Temmallebongi di Desa Uraso Kecamatan Mappedeceng Kabupaten Luwu Utara. Wilayah ini merupakan wilayah Areal Pemanfaatan Lain (APL), tapi karena memiliki fungsi-fungsi ekologis komunitas di Kampung Liku Dengen, Kampung Baru, Kampung Kumila, dan Kampung Tuwu, konsisten melindungi Kawasan Temmallebongi meski tidak masuk dalam Kawasan Hutan Lindung. Dasarnya karena terdapat 4 hulu sungai yang bersumber di dalamnya, dan keberadaan kuburan kuno yang sangat dihormati masyarakat lokal.

“Penetapan wilayah perlindungan Temmallebongi seluas 405,82 hektar sudah dimasukkan kedalam dokumen perencanaan Tata Ruang Kampung Uraso. Dokumen ini dilengkapi Peta Wilayah dan Pola Ruang yang dibuat secara partisipatif pada tahun 2009-2010,” jelas Basri Adang dari Perkumpulan Wallacea Palopo, dalam laporan kegiatan kepada Samdhana. Perkumpulan Wallacea Palopo merupakan lembaga pendamping masyarakat dalam pelaksanaan Program Uji Coba PES (Payments for Ecosystem Services) Hutan Temmallebongi.

Dari hasil Pemetaan Partisipatif (2010) diperoleh luas wilayah Desa Uraso adalah 3,102.75 hektar, dengan wilayah/zona berupa: Perkebunan PTPN XIV kelapa sawit (inti): 1,581.50 hektar, plasma perkebunan kelapa sawit rakyat: 176,25 hektar, pemukiman masyarakat dan tanah: 948,50 ha, Kawasan hutan: 405,82 hektar.

Kepala Desa Uraso mengeluarkan Surat Keterangan Desa Nomor: 150/DSU/III/2014 tertanggal 12 Maret 2014, menerangkan bahwa wilayah hutan Temmallebongi seluas 405,82 hektar dijadikan sebagai Wilayah Kelola Masyarakat yang dijadikan Daerah Penyangga, daerah Perlindungan Sumber Mata Air, dan Jasa Lingkungan.

Dampak ekonomis dan ekologis pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dilakukan masyarakat Desa Uraso kini terasa manfaatnya. Secara ekologi perbaikan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi tanah dan perbaikan mutu lingkungan. Secara ekonomi meningkatnya pendapatan petani melalui penjualan hasil buah-buahan seperti durian yang tersedia setiap musim, hasil panenan madu trigona dan madu apis, belum termasuk hasil dari pemanfaatan lahan dan pekarangan dengan tanaman bernilai ekonomis, seperti kakao, lada, durian otong, dan cengkeh. Uraso merupakan salah satu desa di Luwu Utara yang terkenal dengan usaha lebah madu trigona dan lebah apis.

Kini harapan penghasilan tambahan juga dirasakan masyarakat lainnya di luar Wilayah Perlindungan Temmallebongi. Sebanyak 8000 bibit jengkol dan 2500 bibit pala telah ditanam pada November 2014-Januari 2015 lalu. Bibit ditanam oleh 11 kelompok dengan luasan keseluruhan 80 hektar lebih. Dalam 4-5 tahun kedepan atau pada tahun 2019/2020 diperkirakan pendapatan masyarakat dari lada, jengkol, dan pala akan bertambah. Selain itu terjadi ketertutupan lahan paling sedikit 80 hektar.

Pada gilirannya masyarakat akan membandingkan nilai ekonomis tananam sawit dengan tanaman non sawit. Keberhasilan ini nantinya akan menunjukkan eksistensi perlawanan komoditi yang dilakukan masyarakat Desa Uraso mengatasi ancaman ancaman pengembangan dan perluasan perkebunan sawit dan pembukaan lahan untuk daerah transmigrasi yang berada di sekitarnya, serta pembukaan lahan untuk perkebunan oleh masyarakat desa setempat.

Selama ini banyak pengelolaan hutan didorong untuk mendapatkan pengakuan atau sertifikasi pengelolaan hutan yang lestari. Logika yang terbangun di Uraso, sertifikasi pengelolaan hutan hanyalah alat untuk mencapai tujuan yaitu mempertegas hak atas ruang dan wilayah kelolanya. Semua upaya yang dilakukan di kampung-kampung seperti Liku Dengen, Kumila, Kampung Baru dan Kampung Tuwu adalah untuk merebut kembali wilayah kelola rakyat dengan memperkuat konsep P4T (Penguasaan, Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pemilikan Tanah).

Wilayah kelola masyarakat di Desa Uraso masuk dalam areal HGU Perkebunan Sawit PTPN XIV. Penetapan Hutan Temmallebongi sebagai Wilayah Perlindungan sudah disepakati dan dimasukkan dalam penyusunan rencana tata ruangnya, sehingga wilayah tersebut tidak akan diganggu, rekognisi terhadap wilayah ini lebih bertujuan sebagai jaminan keamanan wilayah tersebut dari ancaman perluasan perkebunan sawit, perkebunan masyarakat , dan perluasan daerah transmigrasi di desa sekitarnya.

Bagi masyarakat yang bermukim di Kampung Liku Dengen, Salu Tuwu, Kumila dan Kampung Baru. Sampai 30 tahun ke depan, wilayah hutan Temmallebongi masih akan tetap lestari tidak mendapat gangguan termasuk dibuka untuk tujuan pengembangan tanaman masyarakat. Asumsi tersebut didasarkan sejak tahun 2010 masyarakat mengintensifkan pemanfatan lahan dan pekarangan dengan menanami tanaman yang bernilai ekonomis, dengan cara tersebut membuat masyarakat akan memaksimalkan hasil yang diperoleh dari lahan-lahan dan pekarangan mereka sehingga secara berangsur-angsur akan berkurang intervensinya ke dalam hutan.

Wilayah hutan Temmallebongi merupakan salah satu lokasi uji coba payment for Enviromental Services atau Imbal Jasa Lingkungan. Yaitu perjanjian kerjasama antara pengusaha, masyarakat dan LSM pendamping masyarakat dalam menyediakan sumber-sumber pendanaan untuk mengelola sumberdaya hutan, agar manfaat hutan dapat berkelanjutan. Dana yang diperoleh dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan perlindungan hutan seperti patroli, rehabilitasi hutan, pengembangan kegiatan ekonomi alternative dan sebagainya.

Pembayaran insentif diberikan berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan pada tanggal 21 November 2014 dan Monitoring akhir pada tanggal 15 Januari 2015. Diserahkan kepada Tokoh Masyarakat Dusun Kumila Akis Nuru yang disepakati oleh warga untuk menerima dana sebesar Rp 13.000.000,- (Tiga Belas Juta Rupiah). Dana ini akan dipakai untuk pengembangan budidaya lebah madu trigona dengan melakukan perbanyakan/penambahan koloni.

Disamping untuk pengadaan koloni, dana itu juga dipakai untuk perbanyakan label dan botol kemasan untuk memperkuat usaha madu kelompok masyarakat yang sudah berjalan.

“Pertimbangannya, produksi madu kelompok yang masih terbatas menjadi kendala untuk pengembangan. Sehingga mereka memilih untuk pengadaan koloni sambil sedikit-sedikit memperkenalkan produk madu merek ‘’Madu Asli Trigona Liku Dengen’’, supaya nilai jualnya dapat meningkat dan produk dapat lebih dikenal,” ungkap Basri.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours