Bias Pembangunan dan Perubahan Iklim telah menimbulkan dampak sosiologik, ekologik dan ekonomik, terutama bagi masyarakat dan daerah kepuluan. Dampak yang paling terasakan terkait dengan ketahanan pangan, air, energi dan mata pencaharian. Ini tidak berarti persoalan layanan publik (pendidikan, kesehatan, transportasi dan informasi) sudah terselesaikan.
5 tahun lalu tepatnya pada 20 Mei 2010, Komunitas, pegiat dan individu yang peduli dengan kepulauan telah menyelenggarakan Konferensi Kepulauan dan Perubahan Iklim. Konferensi ini menghasilkan Agenda SUKMA++ 2025, yakni agenda pembaharuan dan Perubahan yang harus dicapai secara simultan dan bertahap hingga 2025 nanti.
“Ini dimulai tahun 2010, waktu itu kita ngobrol bareng. Kepulauan ini sepertinya dianaktirikan, waktu itu oleh ORBA. Sepertinya kita perlu bersama-sama memperjuangkan kepulauan ini agar bisa mulai dilihat, agar ada kebijakan terkait kepulauan. Jadi, Jokowi belum bikin tol laut, kita sudah. Kita sudah buat poros maritim. Di masyarakat, SDA dianggap sebagai value dan ruang hidup. Ini seringkali bias daratan dan lautan. Padahal itu tidak bisa dipisah”, ungkap Tjatur Kukuh dari Yayasan Santiri.
Tentunya banyak yang telah dilakukan berbagai pemangku kepentingan dan inisiator mandiri pada kurun waktu tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun kolaboratif. Sekecil apapun yang dilakukan menjadi pengalaman dan bisa menjadi pengetahuan dan pijakan bersama untuk melompat ke depan.
Terkait hal ini, pertemuan regional mitra Sunda Kecil Maluku++ digelar pada 26 Februari 2015 hingga 28 Februari 2015, sekaligus menandai 3 tahun sejak Kongres (2012- 2014) dilaksanakan.
Sejak konferensi, Samdhana telah berkontribusi pendanaan, suplemen kecil pada mitranya, dan setiap tahun telah mendapatkan penguatan untuk beberapa sisi. Pertemuan ini membahas seberapa efektif dukungan, bagaimana dampaknya dan apa yang diperlukan untuk memperbesar dampak. Paling tidak untuk 2013-2014, kita bisa melihat dan membahas hal ini secara kritis. Membahas secara reflektif dalam suasana kerelaan baku bagi dan baku carita. Lalu dilanjut untuk membahas bersama rancang bangun 5 tahun ke depan (Master Plan 2020), paling tidak draf yang bisa dijadikan pijakan untuk master plan yang dimaksud. Sekaligus merancang rencana kerja 2015 yang bisa didukung oleh Samdhana.
“Selain dengan SAMDHANA, kami juga sudah merintis pemetaan partisipatif dengan JKPP di 5 desa di Bali, Tenganan dan Pegringsingan. Kami mulai melakukan pemetaan dan ternyata sudah terjadi konflik dimana-mana. Waktu itu kami baru tau setelah pelatihan. Akhirnya kami teruskan sampai advokasi. Dan akhirnya jadi satu-satunya daerah yang berhasil mengusir investor bersama-sama dengan NGO lain dan seniman. Itulah kelemahan NGO juga, saat ada musuh bersama kita bersatu, saat tidak ada kita pecah-pecah. Semua dilakukan oleh masyarakat. Di desa lain sudah sampai”, jelas Made “Denik”Suriati, dari Yayasan Wisnu saat penjelaskan dampak intervensi kegiatan di simpul Bali.
Sementara itu dalam presentasi simpul Lombok Sumbawa dipaparkan bahwa anggota simpul ada ada yang bergerak di hulu, penyangga dan pesisir.
Pesisir mulai dari Lombok Timur sampai wilayah Lombok Barat bagian selatan. Masyarakat di kawasan hulu mengembangkan media komunikasi rakom (radio komunitas). Lombok Timur ada perpustakaan SANTAI untuk 1000 anak NTB. Untuk Lombok Utara salah satunya pemetaan wilayah pesisir dengan metode I-Catch. Beberapa hasilnya kemudian menjadi sarana penyusunan Perda pesisir kelautaan. Pemetaan yang sama juga dilakukan di Sumbawa. Di kawasan pesisirnya ada pemetaan sosial yang sebelumnya didukung oleh ACCESS.
“Salah satu dampak pemetaan yang salah satunya disupport SAMDHANA, diintegrasikan dengan Musrenbang desa. Kami sasar kelompok muda yang kemudian disuport. Untuk Mambalan, peta itu sudah diintegrasikan dengan pemetaan desa. Kebetulah salah satu teman kita, perempuan, jadi ketua BPD”, jelas pemapar simpul, Dian Aryani.
Satu lagi kegiatan yang didukung SAMDHANA yaitu DELTA API di 3 lokasi di pulau Lombok dan 3 lokasi lainnya di Sumbawa.
Dari Maluku Utara, sebagaimana disampaikan Fahrizal, frame besarnya adalah bagaimana dalam kerja-kerja itu bisa menampung aspirasi masyarakat. Membentuk rumah belajar rakyat. Sedangkan dari simpul Flores, Alor dan Lembata menyampaikan bahwa Info mana yang harus dipetakan kembali dan direvitalisasi, saat ini sudah mulai nyata. Yaitu 74 desa dan 2 kelurahan belum lagi marganya (yang dipetakan adalah marganya). Marga utamanya saja 30 lebih, belum lagi anak2 marganya.
Kegiatan diselenggarakan selama 3 hari di Puri Sharon, Senggigi, Lombok Barat . Tanggal 26 Februari 2015 untuk Diskusi Reflektif Mitra Samdhana yang didukung. Tanggal 27 dan 28 Februari 2015 untuk Sharing, Penyusunan Renstra dan Pemetangan Semiloka & Kongres kepulauan II.
+ There are no comments
Add yours