Mewujudkan keadulatan masyarakat adat hubungannya erat dengan pengakuan hak atas wilayah adat. Beberapa negara Asia memiliki hukum yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka, namun penetapan oleh negara berjalan umumnya penuh masalah dan berjalan lambat.
Pengalaman berbeda terjadi di Filipina yang sejak tahun 1997 sudah memiliki Undang-undang Masyarakat Adat. Filipina merupakan salah satu negara Asia yang sudah membentuk lembaga khusus yang melayani kepentingan masyarakat adat termasuk pendaftaran dan pemberian sertifikat wilayah adat, yaitu The National Commission on Indigenous Peoples – NCIP (Komisi Nasional Masyarakat Adat).
Meski secara konstitusi keberadaan masyarakat adat di Indonesia diakui, dibandingkan dengan Filipina, pengakuan hak atas wilayah adat di Indonesia masih tertinggal. Di Indonesia belum ada lembaga pemerintah yang bertugas khusus untuk melayani kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan wilayah kelola adatnya. Hutan adat dan wilayah adat baru diakui setelah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sebagai upaya mendorong pengakuan hak atas wilayah adat bagi masyarakat adat di Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat menyelenggarakan Workshop: “Menuju Pengakuan Wilayah Adat. Pembelajaran Filipina dan Indonesia” 16-17 Februari 2015 di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta. Workshop ini menghadirkan narasumber Abdon Nababan-Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kasmita Widodo-Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forester Marlea Munez-Director National Commission on Indigenous Peoples (NCIP) Filipina.
Saat ini Badan Registrasi Wilayah Adat sudah melakukan upaya untuk memudahkan proses pengakuan wilayah adat di Indonesia dan bagaimana menghadirkan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat. BRWA sebagai tempat adminsitrasi wilayah adat, agar peta wilayah adat itu bisa hadir dan bisa dilihat oleh banyak pihak terutama pemerintah.
“Proses registrasi oleh BRWA sudah berjalan selama tiga tahun. Akhir tahun 2014 yang lalu BRWA bersama AMAN dan JKPP menyerahkan 4,8 juta hektar peta wilayah adat pada pemerintah yaitu KLH-K dan BP REED,” terang Kasmita Widodo.
Komitmen pemerintahan baru terhadap masyarakat adat sempat menjadi harapan baik di tahun 2015. Namun komitmen mengawal percepatan RUU Masyarakat Adat yang saat itu sudah ada di DPR, tidak terjadi dan itu mengecewakan masyarakat adat. Dalam usulan pemerintah baru-baru ini RUU Masyarakat Adat tidak masuk.
Komitmen lainnya adalah menghadirkan satu lembaga khusus bersifat permanen untuk mengurus masyarakat adat. Terkait dengan hal ini Abdon Nababan menyampaikan, AMAN bersama kawan lembaga lainnya sedang bekerja bersama Sekertaris Kabinet Andi Widjayanto untuk menyiapkan satu putusan presiden tentang Satuan Tugas Presiden untuk urusan masyarakat adat. Salah satu tugas dari Satgas tersebut adalah menyiapkan satu kerangka yang pasti terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk bagaimana pendaftaran dan pengakuan hukum atas wilyah adat. Sayangnya urusan kerja dan rapat-rapat menjadi bubar karena terjadinya polemik KPK dan POLRI.
“Ini yang kita tunggu selama 70 tahun sejak Indonesia merdeka. Semua ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada sistem administrasi terhadap wilayah adat,” kata Abdon.
Menurut Abdon saat ini ada 166 nama masyarakat adat yang dipenjara karena belum ada mekasnisme yang permanen dan undang-undangnya masih belum disahkan. Inilah salah satu tugas Satuan Tugas Presiden untuk masyarakat adat.
Hampir 70 % wilayah adat kini dimasuki izin-izin IUPH, tambang dan lain-lain. Izin-izin tersebut adalah bentuk perampasan atas wilayah-wilayah adat yang berdampak pada lingkungan.
Sementara itu Marlea Munez, Director National Commission on Indigenous Peoples (NCIP) memaparkan, ada dua kategori pemberian sertifikat tanah masyarakat adat di Filipina Ancestor Domain dan Ancestor Land. Ancestor Domain sendiri meski sertifikatnya bersifat individu namun lahannya milik bersama (masyarakat adat) dan tidak bisa dijual.
Ancestor Land dapat diberikan pada satu klan, ada kemungkinan sebagai tanah yang belum disahkan atau disebut dengan kepemilikan lain (status hukumnya bisa lain). Jika sudah reklarifikasi bisa digunakan untuk peruntukan lainnya, namun batas waktunya hanya sampai tahun 2017 dan untuk ini belum ada panduannya. Tanah adat baik itu Ancestor Domain maupun Ancestor Land sampai saat ini belum ada yang dijual karena memang ada perlindungan berdasarkan jenis-jenis kepemilikannya.
“Keberadaan Indigenous Political Structure (IPS) sangat penting didokumentasikan dan bila perlu dikuatkan lebih dulu sebelum pengakuan hukum permanen terhadap wilayah adat,” jelas Marlea Munez.
Mengantisipasi pelanggaran IPRA (Indigenous Peoples Rights Act), misalnya perusahaan melakukan okupasi tanah adat tanpa izin, undang-undang masyarakat adat akan memberikan perlindungan hukum. Batuan hukum gratis diberikan melalui NCIP yang memiliki proses hukum setara dengan pengadilan negeri, setelah itu bisa kasasi hingga ke Mahkamah Agung untuk mengembalikan hak mereka yang telah dirampas atau pelanggaran HAM yang terjadi.
+ There are no comments
Add yours