Pembelajaran Mengelola Hutan dari Kulonprogo

Suasana serius tapi santai terlihat mendominasi kegiatan 12 peserta studi banding dari Myanmar saat menyimak paparanaktivitas Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Kulon Progo, Jogjakarta. Mereka terdiri dari staf Kementrian Koservasi, Lingkungan dan Kehutanan (MCEF), anggota lembaga petani hutan dari negara bagian Kachin, wilayah Indawgyi & Mohnyin, asosiasi pengusaha kayu, dan LSM pendamping. Selama satu minggu perjalanan studi banding proses pengelolaan hutan oleh masyarakat di Myanmar dan Indonesia (khususnya di Jawa), dilaksanakan dengan kunjungan lapangan selama 2 hari, tgl 25-26 November 2014. Kegiatan ini merupakan pengembangan kapasitas mitra Samdhana dan FFI Myanmar dalam kerangka REDD preparedness and engagement project, atas dukungan dana dari NORAD & FAO-EU regional FLEGT support programme.

Kunjungan dimulai dengan kunjungan singkat ke Kementrian Lingkungan dan Kehutanan pada hari pertama kunjungan di Jakarta, diterima oleh Direktur Perhutanan Sosial, Bpk Ir. Wiratno. Kesempatan ini digunakan untuk tukar pikiran ttg permasalahan perhutanan sosial baik yang ada di dalam kawasan dan luar kawasan hutan yang sering dilupakan. Tak lupa dilakukan juga pemaparan tentang SVLK dengan segala kemajuan dan permasalahannya oleh Kemitraan (Fazrin Rhamadani, S.Hut) yang disambut antusias oleh ledegasi Myanmar yang baru mulai pada tahapan awal membangun SVLK di negaranya. Pertemuan setengah hari ini sangat dibantu dengan adanya simultan translator, yang bekerja keras menterjemahkan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Burma, mengingat tidak semua peserta khususnya dari perwakilan masyarakat mengerti bahasa Inggris dan peran fasilitator dari FFI Myanmar (Mr. Ngwe Lwin) sangat membantu dalam proses ini.

Kunjungan di Yogyakarta diisi dengan pemaparan narasumber KWLM tentang bagaimana pembentukan koperasi, perkembangan koperasi, bagaimana mendapatkan sertifikat Hutan Lestari, bagaimana membangun bisnis perkayuan, membangun kerjasama dengan pengrajin furniture dan pengusaha perkayuan di Jogjakarta dan membangun kerjasama dengan Credit Union. Narasumber dalam studi banding ini adalah Ruwindrijarto, Hendaru, dari Samdhana Institute serta Bpk. Windratmo, Herni, Heru Susanto, Subagyo, Agung serta dibantu anggota KWLM lainnya.

Dalam 1 minggu yang padat ini, peserta melihat langsung pengelolaan hutan berbasis masyarakat oleh KWLM. Peserta tampak terkesan ketika berkunjung langsung ke lahan anggota KWLM, sawmill (penggergajian kayu) dan ke lokasi penampungan kayu. Melihat bagaimana masyarakat memanfaatan lahan yang sempit dengan sangat effisien dan terintegrasi. Melihat bagaimana KWLM manfaatkan kayu dengan effisien, semua kayu dalam berbagai jenis dan ukuran dapat dimanfaatkan dan tidak dibuang atau dibakar sebagaimana yang terjadi di Myanmar.

Dalam pengembangannya, KWLM memiliki 1,149 anggota dengan luas wilayah kelola mencapai 700.36 ha. Tahun 2014 KWLM berhasil meningkatkan kapasitas produksinya sebanyak 850 m3 dan memperluas wilayah kelola seluas 1000 ha. Selain itu juga menambah jumlah anggota sebanyak 1600 keluarga. KWLM bekerjasama dengan Credit Union Kharisma Tali Asih (CUKATA), sebagai penyedia jasa keuangan milik masyarakat, dimana CUKATA mengembangkan kemampuan manajemen keuangan rumah tangga anggota melalui Credit Union, sementara KWLM mengatasi produksi dan penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat.

KWLM telah memiliki sertifikasi hutan lestari FSC dalam mengelola tanah hutan desanya sejak tahun. 2011, Dalam membangun usaha perkayuan lestari KWLM mampu merangkul semua stakeholder, dimulai dari masyarakat, aparat pemerintah, pengrajin kayu, pelaku transportasi, koperasi kredit dan pengusaha kayu. Semua pihak dijadikan bagian integral dari KWLM. http://www.communitylogging.coop/

Seperti kita ketahui, sejak abad 16 Myanmar telah dikenal dengan kekayaan wana tani asli (indigenous agroforest system) atau sering disebut di Indonesia dengan sistem hutan kerakyatan. Salah satu model wanatani asli telah di adopsi oleh Forester Inggris menjadi model penanaman sela pada hutan tanaman jati yang disebut Taungya (bahasa Burma; Taung artinya pedalaman, Ya pertanian). Pola ini diperkenalkan di Jawa oleh Buurman (Forester Belanda) pada penanaman hutan jati di jawa dengan sebutan tumpang sari, yang saat ini masih dipraktekkan di Perum Pehutani.

Setelah berabad abad pola Taungya ini diterapkan di Myanmar, Indonesia dan China, dirasakan bahwa pola ini memerlukan pembenahan untuk dapat mengakomodir pengelolaan hutan oleh masyarakat berbasis landscape, yang dipercaya dapat memberikan bagian yang lebih besar kepada masyarakat dengan tetap menjaga jasa lingkungan yang dihasilkan dari hutan, serta menerapkan pengelolaan sumber daya alam yang lestari untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan pasar perdagangan internasional dengan melihat kemungkinan sertifikasi yang ada. Model pengelolaan hutan oleh masyarakat di wilayah DIY dimana masyarakat mengelola langsung hutan yang merupakan hutan negara, bersama sama dengan lahan miliknya dalam satu hamparan dirasa menjadi lokasi yang pas untuk studi banding delegasi Myanmar ini, untuk dapat saling belajar akan peluang dan permasalahan yang dihadapi.

Peserta dalam studi banding ini terdiri dari 12 orang, dan ditutup dengan perjalanan ke Candi Borobudur yang merupakan tempat yang memiliki arti khusus bagi masyarakat Myanmar yang mayoritas beragam Budha. Dari sana rombongan langsung kembali ke Myanmar dan transit di Singapore.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours