Merebut, Mempertahankan dan Menata Ruang Hidup Masyarakat : Bagian 2

Strategi di Sulawesi dan Kalimantan
Sulawesi

Kondisi hutan Sulawesi yang sangat khas keragaman hayati dibanding pulau lainnya di Indonesia tersisa 9.047.604,75 Ha dari 12.889.624,3 Ha berdasarkan data 1980 – 2008. Laju deforestasi selama 28 tahun terakhir mencapai sekitar 25%. Sebuah angka yang cukup menghawatirkan apabila tidak segera dilakukan upaya segera dan sistematis untuk menanggulangi hal tersebut. Kebijakan kehutanan yang diambil ternyata tidak cukup efektif untuk menghambat deforestasi. Keengganan Negara untuk mengakui, menghormati dan memenuhi keberadaan masyarakat adat merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya deforestasi.

Wilayah hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas masyarakat adat sebagai penghuninya. Pada umumnya komunitas masyarakat adat memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara keduanya. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan hutannya maka pada umumnya telah mengembangkan konsep kepemilikan (property rights) secara komunal dan bersifat eksklusif atas suatu kawasan hutan adat. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat sebagai hak bersama maka komunitas-komunitas adat memiliki sistem tata kelolah dalam pengelolaan hutan, hukum adat dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Hukum adat merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.

Dukungan hibah kecil Samdhana di Sulawesi mengerucut di tahun 2013 dengan fokus kepada perencanaan ruang hidup masyarakat adat (dimana hutan adat menjadi salah satu bagian penting) di 4 wilayah adat. Ke-empat wilayah adat tersebut adalah Patallassang dan Uraso di Sulawesi Selatan, Bada dan Dongi di Sulawesi Tengah. Diawali tahun 2010 melalui peningkatan kapasitas masyarakat adat terhadap perubahan iklim dan implikasinya terhadap masyarakat adat, kemudian juga dengan masuknya skema pendanaan REDD. Setelah itu ada kesadaran untuk memastikan wilayah adat melalui kegiatan pemetaan komunitas yang dilakukan secara partisipatif. Pada akhirnya di tahun 2013, mulai dilakukan perencanaan ruang hidup masyarakat adat, yang dilakukan secara bersama-sama (partisipatif).

Kalimantan

Samdhana REDD Prepardness dimulai tahun 2009 dilaksanakan dengan memberikan akses kepada Ornop dan Organisasi rakyat untuk dapat menyuarakan pendapatnya tentang REDD, berhadap hadapan dengan REDD readiness yang di kembangkan pemerintah “membuka karpet merah” bagi datangnya program REDD yang bersifat top-down, exo-development dan bias perdagangan carbon tanpa memberikan perlawanan berarti dalam pemikiran dan pelaksanaan dilapangan ( Samdhana 2010). Kondisi ini sangat terasa di Kalimantan dimana terdapat 3 proyek DA-REDD di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Samdhana di Kalimantan membantu memfasilitasi mitra untuk “belajar bersama” ttg REDD, membuka “access” bagi mereka yang belum bersuara (voiceless), dan mengajak mitra berkolaborasi dan membangun strategy bersama.

Tahun 2010-2011, kerja-kerja Mitra diarahkan untuk lebih membuka wawasan dan meningkatkan kapasitas masyarakat pada wilayah wilayah DA-REDD dan secara nyata berkonstibusi memberikan pandangan tandingan atas apa yang dilakukan. Secara Khusus mempertanyakan prosses Free and Prior Inform Consent (FPIC) pada wilayah DA-REDD di Kalbar yang diinisiasi FFI (Gawing ,2010), pada wilayah DA-Kalteng didukung KFCP (Pokker SHK-HuMa, 2011) serta mulai melihat apa yang dilakukan di Kaltim pada DA-REDD yang didukung TNC. Proses proses ini berdampak pada bertumbuhnya pemahaman penggiat ornop, organisasi masyarakat akan FPIC sebagai Hak. Training dan workshop FPIC menjadi kegiatan penting yang banyak didukung Samdhana. Buku panduan FPIC yang diterbitkan DKN (2011), AMAN-Tebteba (2012), GIZ-FPP (2012) menjadi panduan penting dalam mengembangkan pemahaman ini. FPIC menjadi issue sentral didalam proyek proyek DA REDD dan menjadi unsolved issue, dan dicoba diakomodir oleh Satgas REDD+/UKP4 dalam PRISAI (safeguard) yang saat ini dibahas secara luas.

Tahun 2012-2013 issue REDD sebagai suatu exo-development mulai ditinggalkan dan diganti dengan endo-development, yaitu meyakinkan bahwa praktek praktek pengelolaan sumber daya alam oleh rakyat dipedesaan selama ini berupa praktek REDD (endo-development). Maka yang dilakukan adalah mempertahankan pola pola pengelolaan asli, dan melakukan berbagai kajian ttg pola pola pengelolaan dan ancamannya. Kajian ini membuka permasalahan yang lebih luas dari masalah bias mitigasi di region Kalimantan, yang seolah oleh terpisah dari masalah adaptasi yang dialami masyarakat di pesisir Masalah Adaptasi dan Mitigasi seharusnya tidak dipisahkan dan perlu dicarikan bentuk kerjasamanya.

Di akhir tahun 2013, terbangun strategy bersama mitra Kalimantan untuk melakukan intervensi melalui Perencanaan tata Ruang Wilayah di tiap wilayah masing masing, mendorong kebijakan pengakuan hak hak rakyat atas sda dan penyebaran informasi atas pembelajaran tentang REDD.

Bagi masyarakat pola pola pengelolaan perlu dipertahankan, maka dukungan kembali pada pendekatan ruang (spatial) dengan advokasi mempertahankan ruang melalui keterlibatan dalam tata ruang di berbagai kabupaten (Kab. Sanggau lihat Sirait et al 2013, Kab. Melawi lihat LBBT 2013, MoU Aman-Kalbar dengan BPN 2012, Kab. Sekadau JKPP 2012 dll). Strategynya beragam, ada yang melalui pelibatan proses RTRWkab, RTRWProp, pemetaan kampung, serta meyakinkan bahwa pola pola asli di wilayah dampingan terlindung, misal Gunung Lumut di Pasir Kaltim (Padi 2012),Meratus di Kalsel (Walhi Kalsel-Aman Kalsel), Kapuas di Kalteng (Pokker SHK), Sanjan, Terusan, Sungai Utik, Sungai Garong di Kalbar (PPSDAK & LBBT).

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours