Merebut, Mempertahankan dan Menata Ruang Hidup Masyarakat : Bagian 1

Strategi di Sumatera

Pulau Sumatera adalah pulau terbesar di Indonesia yang subur dan berlimpah kekayaan alam terbarukan maupun yang tidak terbarukan, tetapi sekaligus merupakan wilayah rawan bencana. Bagi Pulau Sumatera pulau ekosistem hutan memiliki peran pivotal, di satu sisi menjadi penyedia bahan-bahan yang dapat digunakan secara langsung oleh mahluk hidup, dan di sisi lain berperan penting menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi alam, seperti tata air, penyaring udara, pengatur kestabilan iklim, serta pengikat tanah. Pulau Sumatera adalah contoh gambaran lengkap satu kesatuan sistem dan fungsi hutan selama beberapa abad sebagai penyedia sumber kehidupan dan penghidupan dan pada saat yang sama memainkan peran kunci dalam menjamin kelangsungan fungsi-fungsi alam. Pulau Sumatra memiliki jejak historik perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historik tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan besar, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.

Perubahan iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh massifnya deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera, di sisi lain perubahan iklim menjadi potensi ancaman keberlanjutan kehidupan dan fungsi-fungsi alam wilayah tersebut. Pulau Sumatera merupakan pulau yang memiliki laju deforestasi tertinggi, 269.100 hektar per tahun antara kurun 2000 – 2005 (Badan Planologi Kehutanan, 2007). Deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak suatu bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.

Hal tersebut menjadi argumen dasar pembuat kebijakan menjadikan Pulau Sumatera wilayah prioritas dalam mendorong pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim, umum disebut reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD), seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Aceh. Wilayah ini pun memiliki daya tarik tinggi bagi para penanam modal untuk mengembangkan skema REDD yang bersifat sukarela (voluntary activities, VA). Kawasan-kawasan yang umumnya menjadi sasaran utama prakarsa REDD, baik yang bersifat sukarela maupun yang didorong oleh pemerintah (demonstration activities, DA), adalah kawasan konservasi, kawasan lindung, kawasan berstatus hutan produksi, serta kawasan-kawasan perkebunan yang terdegradasi (exhausted forest).

Namun penting dicatat bahwa upaya kebijakan penataan ruang pada seharusnya sudah bekerja ke arah penanganan dampak perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi CO2 (mitigasi). Perpaduan konteks UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, membuat pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan konvensional tata-guna lahan ke arah perwujudan pembangunan berkelanjutan. Penataan ruang memiliki kemampuan untuk mengusung perubahan yang hakiki bagaimana pembangunan dilaksanakan untuk berkontribusi positif terhadap upaya pemangkasan emisi CO2 dan pada saat yang sama mampu memfasilitasi tumbuhnya pola pembangunan rendah karbon dan sektor-sektor energi terbarukan .

Oleh karena itu REDD seharusnya bukan semata-mata tentang lahan hutan dan karbon, tetapi harus diarahkan sebagai suatu kesepakatan pembenahan dan pembaruan tata-kelola hutan, dengan mengutamakan pengendalian faktor-faktor penyebab deforestasi. Seperti yang dipaparkan Jackson (2005), upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui penataan ruang harus mengedepankan status keselamatan manusia . Skema tersebut sesungguhnya memiliki tuntutan yang sangat tinggi dalam hal tata-kelola ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya REDD seharusnya tidak diperlakukan sebagai suatu investasi (prakarsa baru), tetapi sebagai upaya pengendalian meluasnya dampak kerusakan (damage control) dan pemberdayaan (empowerment) struktur kebijakan dan tata-kelola wilayah yang saat ini terbukti sangat lemah, salah satunya melalui pembenahan penataan ruang. Penataan ruang yang efektif adalah upaya untuk memenuhi prasyarat kunci prakarsa-prakarsa adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim di Indonesia. Agenda adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim di Indonesia hanya dapat berhasil apabila secara sistematik dilakukan rekonsiliasi tunggakan-tunggakan masalah keruangan dan pertanahan, yang selama ini terbukti ampuh menjadi faktor penguat daya rusak kegiatan-kegiatan pembangunan terhdap daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial.

Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar. Rendahnya manfaat yang dinikmati masyarakat dari kegiatan eksploitasi kekayaan alam skala besar di Pulau Sumatera di satu sisi menjadi argumen yang kerap digunakan mendorong upaya pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu pemahaman dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk eksploitasi kekayaan alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga berlaku bagi REDD, sebagai sebuah skema investasi.

Sejak 2010, ada kesepakatan bersama OMS di Pulau Sumatera, terkait dengan langkah-langkah kesiapsiagaan masyarakat (community preparedness) terhadap skema REDD. Disepakati untuk mengawal tiga isu besar dengan sasaran terwujudnya penguasaan ruang kelola masyarakat yang memastikan kedaulatan atas pangan, energi dan air melalui konsolidasi, dukungan publik dan kebijakan yang berpihak, yang didukung kesadaran kritis masyarakat tentang kesiapsiagaan dini menghadapi prakarsa-prakarsa mitigasi perubahan iklim. Ketiga isu besar tersebut kemudian dikawal oleh 3 simpul yang “harus” bekerjasama untuk mendukung pencapaian target/sasaran yang sudah dibuat, yaitu Rebut Ruang Kelola (bekerja di basis komunitas), Community Safeguard (bekerja mengawal kebijakan yang berpihak kepada masyarakat) dan Kampanye (bekerja di ruang advokasi untuk mendukung kedua simpul lainnya).

Sampai dengan 2013, beberapa usulan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema Hutan Desa (Riau, Sumatera Selatan) dan HKm (di Bengkulu, Lampung) telah mendapat surat keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Sebagian lainnya baru mendapatkan Penentuan Areal Kerja (PAK). Upaya merebut selama 3 tahun belakangan terus dilakukan, namun hambatan ada di meja Menteri Kehutanan. Bagi masyarakat adat, pasca Keputusan MK35 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan hak dan bukan hutan negara, perjuangan merebut kembali atau mempertahankan hutan adat menjadi semakin kencang dilakukan. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari memastikan wilayah adat (melalui pemetaan partisipatif), memperkuat struktur kelembagaan adat berikut implementasi hukum adatnya, meningkatkan kapasitas pengetahuan, kearifan lokal dalam sistem pengelolaan kekayaan alam di wilayah adatnya. Hal ini dilakukan antara lain di Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara dan Riau.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours