Pelatihan Fasilitator Pemetaan Skala Luas Wilayah Adat Mollo, NTT

Sebagai tahapan persiapan kegiatan pemetaan partisipatif skala luas (PPSL) wilayah adat Mollo, POKJA OAT (Kelompok Kerja Organisasi A’Taimamus) yang diketuai oleh Aleta Ba’un, mengadakan pelatihan untuk para fasilitator pemetaan dari masing-masing wilayah adat di Mollo, Amanatun dan Amanuban. Pelatihan dilakukan selama 3 hari yaitu dari tanggal 19 – 21 Maret 2014 bertempat di Gedung Rumah Belajar Gunung Batu Nausus Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kab Timor Tengah Selatan, NTT.

Diikuti 32 orang peserta perwakilan pendamping dari wilayah Mollo (Utara, Selatan, Timur, Barat dan Tengah), Mutis, Amanatun, Amanuban dan Tobu. Fasilitator teknis dan sosial pemetaan oleh Imam Hanafi (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/JKPP), Restu Achmaliadi (Samdhana Institute) dan Torry Kuswardhono (Perkumpulan PIKUL). Samdhana juga mengundang 2 orang dari Riau yaitu Hendra Yudhistira dari lembaga HAKIKI sebagai cartographer dan Joni Iskandar, masyarakat desa Anak Talang dari Wilayah Adat Talang Mamak Indragiri Hulu, Riau. Keduanya diundang untuk berbagi cerita tentang pengalaman melakukan pemetaan skala luas di wilayahnya.

Materi pelatihan ini antara lain untuk merumuskan kembali makna dan proses, tujuan dan hasil serta tahapan dan pembagian peran keseluruhan proses PPSL di wilayah adat Mollo yang di tempati oleh 3 suku besar yaitu Mollo, Amanatun dan Amanuban. Tahap awal, masyarakat diajak untuk melihat kembali tujuan utama rencana pembuatan peta skala luas di wilayah adat mereka. Konflik antara masyarakat dengan Cagar Alam Mutis dan ancaman dari perusahaan tambang terhadap wilayah adat mereka, menjadi alasan utama mengapa peta ini dibutuhkan. Selain sebagai alat bukti kepada pemerintah, peta ini diharapkan diteruskan kepada generasi mendatang. Proses penggalian sejarah masyarakat adat Mollo yang dipandu Mama Aleta Ba’un dan Torry, dilakukan untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang sejarah mereka termasuk struktur adat yang saat ini ada banyak versi, terutama sejak masuknya penjajahan Belanda.

Banyak masyarakat yang kurang paham bagaimana sebenarnya struktur masyarakat adat Mollo dan peran-perannya. Pengetahuan mereka tentang struktur adat dan sejarah Mollo yang asli memang penting, selain sebagai informasi awal untuk menentukan teknis pemetaan nanti akan dimulai, juga sebagai data sosial yang akan tercantum didalam peta. Kebiasan masyarakat Mollo yang menceritakan sejarah atau cerita-cerita leluhur melalui penuturan, kadang menjadi kendala karena cerita tersebut kurang terdokumentasikan dengan baik. Salah satu upaya untuk mendokumentasikanya, dapat dilihat dari bentuk bangunan dalam dari Lopo (rumah adat) dan motif tenunan. Motif kain tenun yang dipakai oleh salah satu peserta, ditunjukkan sebagai gambaran struktur adat untuk posisi Usif (raja), Amaf (marga-marga pendukung raja) yang selalu berjumlah 4 atau lebih (dan harus genap), batas wilayah dan sumberdaya alam di sekelilingnya.

Teknis pemetaan partisipatif sendiri tahun lalu pernah dilakukan oleh POKJA OAT dan masyarakat di 7 desa di Mollo. Hasilny berupa peta dasar dan disimpan di rumah adat di Bonleu dan Tune. Sebagian peserta lain yang belum pernah melakukan, dikenalkan pada teknis dasar pemetaan seperti berlatih membuat peta sketsa untuk masing-masing Amaf (meliputi 1 wilayah yang dikuasai oleh 1 marga atau disebut Suf/Otif). Sebagai simulasi, 4 kelompok Amaf membuat peta sketsa wilayah Amaf Banu (Nunbena), Amaf Lasa (Netpala), Amaf Sunbanu (Tobu) dan Amaf Makelab (Bes Ana). Peta sketsa ini berisi informasi dasar dari wilayah mereka berupa batas-batas alam (hutan, jalan raya dan jalan kecil, sungai besar dan kecil, gunung dsb), tempat-tempat penting seperti rumah adat, hutan adat, pemakaman, pemukiman, dan informasi lainnya.

Peta sketsa ini kemudian dibandingkan dengan peta dasar dari Badan Informasi Geospasial (BIG), untuk melihat luasan sebenarnya dari masing-masing wilayah. Juga membandingkan informasi-informasi dasar yang ada dipeta dasar dengan kondisi saat ini. Tahapan inilah yang akan dilakukan bersama-sama oleh masyarakat dengan tim pemetaan dalam 6-8 bulan kedepan disamping mengumpulkan informasi sosial dari masing-masing Amaf untuk melengkapi peta secara keseluruhan.

Hal yang menjadi pembelajaran penting sebagai tahap awal dari proses PPSL di Mollo adalah masyarakat makin menyadari adanya ancaman dari luar terhadap wilayah adatnya jika mereka tidak mempunyai alat bukti yang mengukuhkan keberadaan mereka disana. Alat bukti ini diperlukan untuk memperoleh pengakuan dari pihak luar terhadap wilayah adat Mollo. Pokja OAT sebagai organisasi masyarakat yang dibentuk di Mollo selama ini berusaha membangun kesadaran itu, salah satunya dengan mendorong kemandirian masyarakat dalam mengolah sumberdaya alam yang ada untuk kelangsungan hidup mereka. Melalui dibentuknya kelompok – kelompok petani dan penenun di hampir semua desa, masyarakat dapat memperoleh manfaat lebih dibandingkan dengan bekerja sendiri. Pokja OAT juga mendorong kembalinya pemanfaatan pangan lokal untuk konsumsi sehari-hari dengan tujuan agar masyarakat tidak tergantung kepada pihak luar untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Dan melalui pembuatan peta wilayah adat Mollo ini diharapkan menjadi salah satu alat bukti untuk mencapai tujuan diatas. (Nurul Chairunisa)

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours