Potensi Ekonomi Sagu Sungai Tohor

Sungai Tohor, desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Meranti ini merupakan desa penghasil sagu. Warga setempat mengatakan bahwa Sungai Tohor merupakan wilayah penghasil sagu terbesar di Indonesia. Sagu merupakan bahan pangan yang diolah dari pohon rumbia. Masyarakat Sungai Tohor lebih mengenal pohon rumbia ini dengan sebutan pohon sagu. Selain menghasilkan pangan berupa sagu, manfaat lain dari pohon sagu adalah limbah sagu yang dapat dijadikan pakan ternak, kulit batangnya dapat dipergunakan sebagai kayu bakar, dan daunnya bisa dimanfaatkan sebagai atap rumah.

Menurut Abdul Manan (42) salah satu tokoh masyarakat Sungai Tohor, sagu merupakan tanaman asli Desa Sungai Tohor yang sudah tumbuh sejak tahun 1904 atau saat pembukaan Desa Sungai Tohor. Barulah pertengahan tahun 1970-an pembudidayaan pohon sagu dilakukan secara massal.

“Sejak 1970 sagu mulai banyak ditanam masyarakat. Budidaya ini pertama kali dilakukan di kawasan Simpang Kanan Desa Sungai Tohor,” jelasnya.

Pada awalnya masyarakat melakukan budidaya sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka saja. Namun seiring dengan naiknya nilai ekonomis sagu, masyarakat Sungai Tohor mulai mengembangkan sagu menjadi produk lain. Hal inilah yang membuat masyarakat Desa Sungai Tohor membangun kilang-kilang pengelolaan sagu basah. Sungai Tohor terdapat 12 kilang sagu basah dari 28 kilang yang ada di Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Sebelum munculnya kilang pengolah sagu basah, tengkulak menjadi penguasa hasil sagu masyarakat. Keberadaan kilang-kilang inilah yang melepaskan ketergantungan masyarakat Desa Sungai Tohor dari jeratan Tengkulak.

Sungai Tohor sebagai penghasil sagu yang cukup besar terlihat dari produksi sagu basah per bulannya saat ini mencapai 480 ton. Nilai ekonomis sagu yang dinikmati 300 KK di Sungai Tohor ini mencapai Rp 864.000.000. Bahkan dari sagu ini mampu membiayai perjalanan haji beberapa warga. Sejak 2011 produksi sagu basah mengalami penurunan, warga menilai penurunan produksi sagu ini terjadi sejak adanya proyek kanalisasi (2009) yang dilakukan oleh PT. Lestari Unggul Makmur, perusahaan pemegang konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) yang merusak ekosistem hutan rawa gambut, tempat tumbuhnya pohon sagu.

“Sebelum adanya proyek kanalisasi PT. LUM, Desa Sungai Tohor mampu mengahsilkan sagu basah tiap bulannya mencapai 600-700 ton,” jelas Ridwan salah satu petani Sungai Tohor.

Produksi sagu basah yang cukup besar ini sebenarnya menjadi potensi Desa Sungai Tohor sebagai penghasil sagu yang memenuhi kebutuhan sagu lokal dan nasional. Bahkan dalam skala tertentu sagu Sungai Tohor menjadi komoditi ekspor ke Malaysia dan beberapa negara lain. Sadar akan potensi sagu bagi kesejahteraan masyarakat Sungai Tohor, masyarakat berkeinginan untuk mengenalkan dan mempopulerkan kembali sagu sebagai produk pangan dan turunannya ke masyarakat yang lebih luas. Baik di level lokal, nasional hingga internasional. (Rio/Boy/Indra)

*Para penulis merupakan peserta kegiatan “Belajar Menulis Bersama” Samdhana-Walhi Riau, Minggu (17/11/2013) di Sungai Tohor.

Tulisan serupa juga diunggah di blog EA Indonesia

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours