Strategi Kolaborasi Kerja Sekutu

Bantul, 15 September 2012, selain berbagi cerita soal konglomerasi dan dominasi media mainstream terhadap kualitas tontonan masyarakat, di gerilya media juga berbagi cerita tentang  kasus yang merusak sumber daya alam di daerah.

Marjudin Penyunting Suara Komunitas DI Yogyakarta berbagi Siasat Gerilyawan Warga untuk Advokasi tentang kasus galian C di Wonolelo, Bantul.

Ia bercerita tentang penambangan gunung pasir di Wonolelo.  Ada pengusaha asal Bantul, disetujui langsung oleh pemerintah setempat (kabupaten) tanpa ada dialog dulu dengn warga. Warga pun protes.Tanggapan dari pemda setempat hanya peng-iya-an dengan alasan sudah ada ijin.Warga berinisiatif demo, namun gagal.

Di Wonolelo infrastruktur rusak parah karena penambangan, jalan pun ikut rusak. Kegagalan warga tidak menyetujui terhadap penambangan pasit di Wonolelo karena belum berhubungan dengan media untuk berbagi informasi soal keberatan mereka. Penolakan masryakat dituangkan lewat lewat pamplet, dsb yang disebarkan ke desa-desa.Pemerintah setempat mulai gerah. Media-media lain mulai mengikuti.

Demo selanjutnya berhasil dan hampir semua media massa di Yogyakarta meliput. Namun pemerintah hanya kembali menenangkan situasi, belum memberikan jawaban atau solusi. Padahal ancaman terhadap kerusakan alam di daerah tambang semakin besar.

Peran media komunitas kurang berperan dalam kasus penambangan gunung pasir ini, bisa dibilang cukup. Timbul inisiatif harus disalurkan ke media yang lebih besar disertai advokasi. Diskusi dan lobi terus dijalankan. Termasuk diskusi dengan DPR. Hasilnya sampai saat ini para penambang tidak berani ke daerah Wonolelo. Pemerintah pun mendukung jika ada indikasi para penambang lain akan kembali melakukan usaha galian pasir.

Lantas apa kaitanya media komunitas dengan aksi-aksi masyarakat lokal dalam memperjuangkan dan membela hak-hak mereka? Antok Suryaden (Bloger Nusantara)  membahas soal Gerilya Bloger Ndeso Mengepung Kota.

Menurut Suryaden, bloger ndeso adalah mereka yang punya blog pribadi, paham citizen jurnalism, contributor aktif portal desa, berperspektif membangun desa, sosial entrepreneur.

Mengapa blog? Karena mudah dan simple. Apapun bisa dimasukkan, audio, video, download,dsb. Strategi:

  • Context is the heart, node is the lung. Mendokumentasikan setiap perjalanan, perkembangan, sejarah, maupun isu desa untuk publish ke internet dengan jurnalisme efektif.
  • media aspirasi: menciptakan wadah membangun opini secara natural, menginisiasi dialog, ruang belajar, serta peta potensi.
  • media promo hasil kreatifitas warga, mempublish, dan mendistribusikannya.
  • Information Help Desk pengembangan desa melek IT, pencerahan penggunaan IT, perpustakaan, PPPK Teknologi, pelatihan blogging, community technology center maupun community acces point, menuju pusat informasi desa.
  • Scallling Up: membangun silo informasi, berjejaring dengan desa lain, bermitra dengan pemangku kepentingan, mengembangkan konten informasi dan community technology center, blogpreneurship, blogger nusantara, dan gerakan membangun desa.

Jadi,  semua orang bisa menjadi bloger desa dengan menceritakan peristiwa di desa masing-masing, tentunya selain lewat radio komunitas.

Soal-soal kerusakan sumber daya alam

Selain kasus penambangan pasir di Wonolelo, Bantul, juga sharing dari “korban” Lapindo.  Menurut mereka, kasus Lapindo bukan lagi menjadi isu menarik bagi media mainstream. Korban LAPINDO sudah membuat website dan radio suara porong, didirikan di pengungsian. Membentuk posko informasi untuk dialog dan diinformasikan kepada warga. Tahun 2009 Combine meminjamkan radio untuk meng-cover wilayah timur. Nanti, mereka akan mencoba membuat kelompok-kelompok kecil, berdialog tentang problem mereka untuk dicarikan solusinya bersama-sama. Dari 2006 sampai sekarang, korban LAPINDO menganggap pemerintah tidak ngurusi kasus tersebut .Akhirnya mereka mengurus diri kita sendiri dengan memanfaatkan gerilyawati-gerilyawati di Sidoarjo.

Sementara Ibe dari Kendari Sulteng, melawan hegemoni pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Sulit mendapatkan dokumen pertambangan, dan tidak ada sosialisasi tentang AMDAL kepada warga. Warga tidak bisa mengkaji profil dan bagaimana perusahaan pertambangan itu. Premanisme juga diterapkan perusahaan tersebut. Desentralisasi di Sulteng sebenarnya menghasilkan raja-raja baru di tiap kabupaten. Para pelaku seenaknya saja mengajukan ijin-ijin baru untuk pertambangan. Warga menolak tambang karena memang tidak layak. Para penambang masuk berdasar ijin dari kabupaten (ada jalur pengorganisasian, jalur pengecekan dokumen, sampai ke jalur hijau).

Dari Bogor, komunitas LALI menceritakan kegiatan di kaki Gunung Salak, tepatnya di kawasan Cidahu. Aktivitas masyarakat menambang dan menciderai alam sekitarnya, ada tambang galian C seperti mengambil pasir dan batu di sungai. Tidak ada sosialisasi AMDAL juga. Komunitas LALI sudah berdemonstrasi mengerahkan massa dan mahasiswa di pendopo bupati Kabupaten Bogor. Selama ini  terjadi pembiaran terkait ijin-ijin penambangan yang dikeluarkan. Para raja kecil juga bermunculan di daerah Cidahu. Perlawanan balik tidak ada. Sampai sekarang baru ada  keberatan melalui opini di masyarakat bahwa aktivitas penambangan itu merusak.

Sedangkan Fadli dari Cilacap berpendapat bahwa proses pewartaan di teman-teman suara komunitas sangat berbeda dengan pewartaan oleh media mainstream. karena berpendapat: apa yang didapat?  Di Cilacap sampai sekarang masih melakukan advokasi buruh migran di 30 desa. Proses juga berlangsung ke pemberdayaan. Strateginya gempur terus berita itu, wartakan terus isu walaupun sama.

Dari Pariaman menceritakan soal melawan penambang pasir besi: strategi: pahami karakter masyarakat. Misalnya sasar perempuan yang biasanya lebih sensitif jika ada bahaya. Sosialisasi kita lakukan lewat radio, kerja sama dengan LSM, WALHI, dsb. Kita siarkan berulang-ulang.Akhirnya ada aksi besar yang sebagian besar diikuti perempuan (dan anak-anak). Hasilnya sampai sekarang di sepanjang pantai Sumatra Barat tidak ada penambang pasir besi.

Kasus di Cirebon soal perjuangan bagi buruh migran. Dengan mempublikasikan kisah Nok Sutarsi  sebagai TKW yang tersiksa. Diceritakan secara kronologis dari pertama kasus tentang kesedihan sang suami, sampai kembali lagi ke kampung dalam kondisi lebam bekas penyiksaan. Ternyata, pelaporan pewartaan yang runtut, detail, dan kronologis itu efektif.

PLTP Baturaden: pembangunan PLTB di hutan lindung kaki gunung Slamet. Masalahnya adalah tidak ada sosialisasi ke masyarakat. Ketakutan akan kasus Lapindo juga menjadi alasan.

Menurut Suryaden setelah menyimak cerita-cerita dari berbagai daerah,  perbedaan perspektif ada di para gerilyawan media. Buatlah tulisan di suara komunitas menjadi empuk, membuat orang yang membaca nyaman, bukan panas kuping.

Menanggapi cerita gerilayawan dari berbagai daerah, Rifky dari Lampung berpendapat bahwa tantangan pewarta warga sebenarnya temen-teman pewarta warga sendiri. Kadang mereka spektis terhadap teman-teman komunitas. Soal jumlah pembaca, bagaimana produktivitas, dsb. Maka temen-teman LSM juga tidak harus bergerak dalam ranah kepenulisan, tapi membangun mitra dengan warga dan teman-tema lain. jika tidak bisa menghadapi teman sendiri bagaimana bisa menghadapi pemerintah? [irma susilawati-dana]

****

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours