Menggalang Sekutu Media Rakyat

Malam hari, 14 September 2012,  peserta gerilya media (gerilyawan) dari berbagai daerah menikmati  tontonan  film dokumenter Linimassa 2.  Film  ini lanjutan dari Linimassa 1. Linimassa 2  menceritakan peran masyarakat lokal tentang kejadian-kejadian yang terjadi di kota masing-masing dimana media mainstream tidak berimbang dalam memberitakannya.

Diceritakan dalam Linimassa 2,  soal  berita kisruh di Ambon, media mainstream memberitakan peristiwa di Ambon secara berlebihan, padahal kekisruhan yang terjadi memang tak sebegitu ekstrim.  Peristiwa tersebut  menginspirasi Almas, seorang pemuda dan penduduk lokal, yang melakukan perubahan luar biasa dengan men-share berita yang menurutnya lebih benar lewat situs sosial  twitter.

Perubahan yang terjadi, social media seperti twitter  mampu memberikan berita alternatif dan berbeda dari yang diberitakan oleh media mainstream televisi, karena Almas melakukan peran sebagai pewarta komunitas dengan menceritakan peristiwa yang sebetulnya terjadi, secara lokal dan memberikan pandangan alternatif soal rusuh di Ambon saat itu.

Fim tersebut juga menceritakan Bajo Bangkit, tentang kehidupan masyarakat Bajo di Sulawesi Tenggara yang mengubah keadaan  dalam berbagi informasi. Mereka membuat buletin Bajo Bangkit.

Dengan  menggunakan alat-alat sederhana untuk membuat buletin yang nantinya disebar pada masyarakat Bajo. Berkat buletin Bajo Bangkit yang menginformasikan persoalan lingkungan, sosial, dan pendidikan, perubahan sosial signifikan dalam bidang pendidikan dapat dirasakan.

Linimassa 2 juga berkisah mengenai Kampung Cyber di Yogyakarta, Desa  Mandala Mekar di Tasikmalaya, dan Radio Komunitas Primadona di Lombok Utara yang melakukan perubahan luar biasa melalui media komunitas masing-masing.

Think Locally Act Globally

Selepas nonton Linimassa 2, Alissa Wahid yang hadir malam itu mejawab pertanyaan apa latar belakang dibubarkannya Departemen Penerangan saat pemerintah Gus Dur?  Serta apa itu jaringan Gusdurian?

Alissa Wahid menjelaskan, sebetulnya yang dilakukan oleh komunitas, sesuatu yang terlalu dikontrol justru akan sangat berbahaya, karena informasi hak semua warga. Menguatnya gelombang baru pewarta suara komunitas, informasi menjadi hak semua warna negara. Keuntungan zaman berpihak pada kita karena infra struktur yang tersedia.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 berbeda dengan saat ini,  sekarang sudah ada banyak media, koordinasi yang harus dilakukan oleh pewarta masa 1998 harus fisikal.

“Gusdurian adalah murid Gus Dur, beberapa komunitas yang belajar tentang pemikiran ekonomi Gus Dur, ada juga yang mempelajari pemikiran santri dari Gus Dur,” jelas Alissa Wahid.

Gusdurian saat ini sudah menjadi pewarta untuk benar-benar melibatkan berbagai informasi yang harus diwartakan. Gusdurian Jombang, Lintas Iman, ada seseorang yang merusak dan mengusir relawan yang ada di Sampang saat konflik Sampang beberapa waktu lalu. Kemudian usai diusir, mereka para korban yang diusir justru mewartakan, sehingga kemudian ada permohonan maaf, sehingga lalu ada konsolidasi.

Suara komunitas kemudian menjadi sangat penting sekali untuk mewartakan, walau saat ini televisi yang menjadi alat indoktrinasi yang paling efektif karena di rumah-rumah selalu ada televisi.

“Kontemplasi ideologi tidak menjadi masalah bagi kawan-kawan pewarta di sini, karena nantinya bukan kawan-kawan yang satu-satunya akan merebah Indonesia. Kawan-kawan yang menjadi Agent of Change,  think locally, act globally,“ Papar Alissa Wahid dengan tenang menjabarkan soal media komunitas sebagai agent of change.

Alissa juga menyinggung soal money politic yang  masih jalan. Hukum merespon? Tidak ada. Calon bupati yang melakukan money politic di hukum? Tidak ada juga. Karena rakyat masih menerima uang dari praktek-praktek money politik tersebut.

“Kalau memang ada isu dan memang butuh dilemparkan, silahkan dimunculkan dulu sebagai isu lokal, agar nantinya isunya menjadi isu nasional.” Tegas Alissa Wahid.

Gerakan Media Komunitas

Yana Noviandi, kepala desa Mandala Mekar, di Tasikmalaya menceritakan kondisi geografis di kampungnya tidak cukup bagus. Masyarakat di sana membutuhkan informasi yang cepat,  kendala mengirim informasi  harus menempuh perjalanan sejauh 30 km. Sinyal internet tidak ada, di Mandala Mekar punya radio komunitas Ruyuk FM untuk berbagi informasi dari dan untuk masyarakat di Mandala Mekar.

“Kami belajar kirim email. Di radio pun kami yang siaran, begitu pun dalam menulis, kami juga yang menulis sambil mengajari rekan-rekan yang lain. Kendala infra struktur selama tujuh tahun ini masih dirasakan oleh masyarakat, bahkan sampai saat ini orang-orang di sana tidak tahu menahu tentang internet, kecuali orang-orang yang sampai SMA, dapat di sekolah,” cerita Yana Noviandi soal keterbatasan warga Mandala Mekar terhadap akses teknologi, seperti internet.

Informasi itu mahal, sehingga beberapa informasi yang dicari mengenai kekurangan di desa, sulit didapat. Informasi itu mahal, seperti informasi obat yang sampai di desanya, itu mebutuhkan biaya tinggi, karena pembuatan iklan yang menginformasikan tentang obat tesebut menghabiskan biaya tinggi, itu sangat mahal.

Yana Noviandi berucap bahwa menulis itu seperti naik sepeda, kita tidak perlu teori, jika sering menulis, kita akan lancar dalam menulis. Analogi itulah yang dia tularkan ke warga Mandalamekar untuk giat menulis tentang desa meraka. Kegiatan yang sederhana, banyak sekali informasi yang lebih luar biasa, hanya saja belum diwartakan.

Mengenai gerakan media komunitas, Sammy  Ketua APJI  menambahkan jika teknologi tidak disikapi dengan benar, menjadi senjata makan tuan,dan isu-isu lokal itu penting.

Suara aktual dari masyarakat bisa disuarakan. Internet tidak hanya masalah teknis, internet sudah menjadi bagian dari masyarakat. Kebebasan berekspresi, kebebasan berbicara. Tahanan informasi negara kita. Dunia maya sudah menjadi refleksi dan sudah menjadi nyata.

Internet itu lahir dari komunitas saintis, yang diberikan Cuma-Cuma kepada masyarakat. Pengguna internet di Indonesia sangat meningkat 15%, awalnya 50% menjadi 62%, dan penggunanya itu adalah anak di bawah 15 tahun.

Sedangkan Donny Bu dari ICT Watch yang sejak 4 tahun pertama mengembangkan detik.com.  berpendapat jika melihat foto tokoh pers yang tidak senyum, maka konsolidasi media menjadi mengerikan. Karena setiap orang lebih memilih untuk berbincang dengan orang yang ramah. Mangkanya isi dari apapun dalam informasi, sampaikan lah dengan senyum.

“Bahkan ketika ada undangan ke luar negeri, saya mendapat pelajaran untuk selalu membuat konten di internet yang ramah dan penuh dengan senyum. Jadi, buatlah suatu program yang menarik orang dan dibutuhkan oleh orang lain,” tambah Donny. Senyum! [irma susilawati]

****

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours