Media Komunitas Untuk Apa, Untuk Siapa?

Combine Resource Institution (CRI) adalah mitra Ford Foundation di bidang media, berdomisili di Bantul, Yogyakarta.  Tanggal 14-15 September 2012, Combine menggelar kegiatan Gerilya  Media sebuah pertemuan penting para  pekerja media alias gerilyawan, baik media rakyat maupun arus utama (mainstream)  untuk mengupas siasat dan jurus pemanfaatan media untuk mendorong perubahan sosial.

Pertemuan ini dihadiri oleh para pegiat radio, televisi, media cetak, on-line, video,  juga individu dan lembaga yang memiliki perhatian besar pada isu-isu masyarakat akar rumput, seperti isu kesehatan, pendidikan, anggaran, lingkungan, advokasi dan gerakan masyarakat  yang berasal dari Padang, Jawa Barat, Jawa Timur, Lombok Utara, Sulawesi Tenggara.

Media rakyat atau media komunitas berpotensi besar menjadi agen penyebarluasan informasi sekaligus mendorong keterlibatan dalam perubahan sosial. Sayang, media rakyat masih berkutat pada permasalahan klasik, seperti kelangsungan hidup, terbatasnya daya jangkau, dan kapabilitas pengelolaan media.

Salah satu media komunitas yang menjadi agen penyebarluasan informasi bagi  masyarakat adalah Primadona FM di Lombok Utara, NTB.  M. Syairi  mengelola Primadona FM. Ia telah menekuni dunia tulis menulis sejak tahun 1992 di sebuah tabloid di Jakarta.

“Dulu radio komunitas di NTB itu haram, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Sekarang ada 33 radio komunitas, radio komunitas itu menyuarakan kebenaran dari lapangan. Tentunya berbeda dengan media-media mainstream. Media komunitas juga berfungsi menambal informasi-informasi yang bolong yang diisukan secara nasional. Sebagai contoh, suarakomunitas.net yang mampu membatalkan kongkalikong pengusaha dengan polisi.” Lelaki dengan rambut ikal ini berbagi cerita di gerilya media.

M. Syairi menambahkan, kalau masyarakat desa diberi sebuah ruang maka sebenarnya mereka bisa berbicara.

Media Komunitas dan Gerakan Akar Rumput

Pakar Sosiologi dari Universitas Gajah Mada, Arie Sujito  juga menjadi pembicara dalam diskusi ini mengutarakan tafsirannya mengenai suara komunitas. Cerita Syairi mengingatkan bahwa nadi perubahan itu dari grass root (akar rumput). Reformasi politik tahun 1998 menghasilkan  dua hal penting, demokrasi politik dan kebebasan media yang luar biasa.

Perubahan itu berawal dari masyarakat lewat media komunitas. Media komunitas lahir bukan sebagai euforia demokrasi atau kebebasan informasi. Media komunitas mengemban misi besar untuk mengimbangi diskursus yang berkembang di atas. Ruang-ruang yang sebenarnya terbuka tetapi sedang termonopoli.

“Media komunitas, sebagai konter terhadap media mainstrem yang nalarnya condong ke liberal dan termonopoli, sama hal dengan partai politik. Spirit media komunitas  mainstream terhadap nalar, media komunitas mempunyai relevansi tentang penyumbatan-penyumbatan informasi di tingkat lokal, hambatannya, mengimbangi kekuaran politik.  Idiologi itulah yg diusung suara komunitas sebagai suara perlawanan media-media arus utama,”  Arie Sujito berbicara panjang lebar soal media komunitas dan perubahan sosial berasal dari gerakan akar rumput.

Selanjutnya agar, media-media komunitas bisa tetap hidup di masyarakat,  Arie Sujito berpendapat media komunitas tidak boleh terjebak dalam agenda-agenda yang di setting oleh pengusaha pemilik media mainstream, media komunitas jangan sampai terjebak rutinitas.

Ada tiga sifat penting yang melekat pada media rakyat/media komunitas, yaitu kedekatan  (proximity), berbagi rasa  (empathy), dan interaksi  (interaction).

Pertama, media rakyat menyebarluaskan peristiwa dan gagasan yang berkenaan dengan warga dalam lingkup wilayah tertentu di mana media tersebut berada. Hal itu menjamin tingkat relevansi yang tinggi antara isi media dengan kebutuhan akan informasi (dan hiburan) warga.

Kedua, media rakyat cenderung menjadi ruang saling berbagi rasa dan perasaan  (empathy)  warga. Hal itu terbentuk karena kesamaan kultur, tujuan, serta kepentingan dalam kehidupan bersama.  Empathy  antara media (pengelola media) dan warga tercipta karena pengelola dan warga pada dasarnya memiliki orientasi kultur serta tujuan yang sama.

Ketiga, ada respon yang bersifat segera  (immediate feedback)  karena sifatnya yang lokal. Warga dengan mudah datang ke kantor media (atau mungkin menelpon) untuk mengemukakan saran, masukan, atau mungkin keluhan berkenaan dengan pemberitaan atau isi media. Para pengelola juga relatif lebih mudah mengakomodasi saran dan masukan karena ketiadaan hambatan  (constraint)  manajerial.

Siapa yang Terlibat dalam Medan Gerilya? 

Gerilyawan yang terlibat dalam gerilya media dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu:

1.       Gerilyawan Konten. Gerilyawan ini terdiri dari pelaku dan lembaga yang fokus pada kajian, analisis, dan pendampingan isu-isu kerakyatan. Mereka memiliki kemampuan untuk menyuplai konten-konten bermutu.

2.       Gerilyawan Propaganda. Gerilayan ini terdiri dari pekerja media yang memiliki kemampuan mengemas dan menyebarluaskan isu-isu yang diproduksi gerilyawan konten dalam berbagai bentuk media.

3.       Gerilyawan Diplomasi. Gerilyawan ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan pendekatan dan lobi pada para penentu kebijakan. Mereka memiliki kemampuan dalam mendorong isu-isu kerakyatan menjadi kertas posisi, rancangan undang-undang, dan lainnya.

4.       Gerilyawan Teknologi. Gerilyawan ini terdiri dari orang yang memiliki kemampuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi.

Membahas soal  gerilyawan, hadir Budiman Sudjatmiko selaku anggota DPR RI yang sedang  melakukan kajian soal undang-undang desa. Budiman Sudjatmiko bicara panjang lebar soal gerilya, dimana sifat gerilya dalam perang itu hit and run.  Sedangkan gerilyawan adalah memanfaatkan sumber daya yang sedikit tapi berpindah-pindah tempat hingga kemudian dikira ada banyak gerilyawan. Perang gerilya tidak mencari kemenangan militer—dalam arti berapa musuh yang mati—tapi efek psikologis dari pengepungan. Penting, agar tercipta dengan sedikit resource tercipta hegemoni, terkesan banyak, berpindah-pindah. Sama halnya dengan media komunitas yang menurutnya sama seperti orang yang bergerilya untuk mewujudkan partisipasi publik.

“Pilihan gerilya media harus dimaknai, jangan dulu bermimpi bisa mengalahkan oligarki, tetapi menciptakan  rakyat juga bisa berpikir. Pertama, bukan berati anti media kecanggihan, yang kita ubah adalah ideologi keberpihakan. Dua, unit gerilya harus punya unit reguler, pasukan mainstream tetep ada,” tegas Budiman Sudjatmiko mantan aktivis gerakan reformasi.

“Indonesia perlu belajar dari Brazil mengenai demokrasi yang memberikan ruang sama besar antara birokrat, partai politik, dan masyarakat akar rumput. Tugas saya ada di DPR bagaimana membawa suara pinggiran ke tingkat undang-undang. Ternyata tidak mudah, karena apa? Bukan karena orang-orang jahat, bukan karena tidak peduli. Institusi pemerintah Indonesia, tata  kelola, perwakilan belum mencerminkan partisipasi publik, sebagai ciri dari demokrasi di Indonesia. Sehingga yang terjadi informasi dari akar rumput sering tidak tersalurkan sampai ke tingkat pusat,”  Budiman menjelaskan terkait perjalanan dinas studi banding anggota DPR RI ke Brazil soal undang-undang desa Agustus lalu.

Kaitan media komunitas, gerilyawan dan suara akar rumput yang terwakili di badan legislatif, menurut Budiman Sudjatmiko, di Indonesia masyarakat kecil mempunyai hak bicara, namun tidak mempunyai hak untuk menjadi penentu kebijakan. Berbeda dengan rakyat akar rumput Brazil yang mempunyai perwakilan bukan lewat jalur partai saja, tetapi dari ormas, LSM, atau dewan-dewan seperti dewan radio komunikasi, dewan petani, gay-lesbian, HIV, Perempuan dan sebagainya.

Ia menambahkan bahwa di DPR RI, masing-masing kepala yang mewakili partai masih belum bisa disatukan dan membangun konsesus. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, jadi mengikuti pola pikir pendahulunya.

“ Di Brazil kampanye calon anggota dewan itu hanya satu menit jatahnya di televisi, jadi orang miskin atau kaya sama saja peluangnya,  Indonesia hanya butuh wakil rakyat yang aspiratif, tanpa wajah, dan yang terpenting pro rakyat. Hebatnya, Brazil tidak punya hutang luar negeri, ekonomi kelas menengahnya naik 10% setiap tahun. ” ucap Budiman mengakhiri ceritanya.

Janjinya Budiman Sudjatmiko, rancangan undang-undang desa akan di streaming di radio komunitas dan membuat laporan perjalanan. [irma susilawati-dana]

 ****

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours