Mai, panggilan akrab Siti Maimunah, sudah 11 tahun terakhir malang melintang di dunia pertambangan dan bergiat di Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Saat ini Mai juga menjadi koordinator Civil Society Forum (CSF).
Hadir dan berbicara panjang lebar di Obrolan Sabtu Seru, tanggal 11 Februari 2012, mengenai pertambangan serta dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan Indonesia akibat eksploitasi yang jor-joran oleh perusahaan tambang serta maraknya pemberian ijin.
Bicara soal tambang tak lepas dari soal perijinan dan undang-undang yang mengaturnya, Indonesia telah memiliki UU Pertambangan Umum sejak tahun 1967. Setelah kontrak dengan Freeport ditandatangani, UU Indonesia banyak memberikan kemudahan pada perusahaan asing.
Selain kemudahan yang diberikan pada perusahaan tambang asing, juga terjadi tumpang tindih dalam pemberian ijin kepada perusahaan tambang. Tumpang tindih konsesi bukan hanya dengan bidang kehutanan, juga antara perusahaan tambang itu sendiri.
“Dulu ijin dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sekarang pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) bisa mengeluarkan ijin untuk konsesi tambang. Di Kalimantan (bagian Indonesia) telah diterbitkan lebih dari 2.475 ijin tambang. Sedangkan di Kalimantan Timur, yang luasnya 19,88 juta ha memiliki konsesi sektoral seluas 21,7 juta ha. Ada 1.271 ijin tambang di sana mencakup luasan 4,4 juta ha, sekitar 22,1 % dari luas provinsi. Separuh ijin di Kalimantan Timur ada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Di Samboja ada 90 ijin perusahaan tambang. Kini, 71% luas Kota Samarinda adalah kawasan tambang,” lanjut Mai, menyinggung pemberian ijin oleh pemerintah daerah. Tak heran Samarinda kini seringkali dilanda banjir.
Mai lalu memunculkan peta tutupan lahan hutan di Papua, kemudian ditumpangtindihkan dengan penyebaran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) , HTI, Perkebunan dan Pertambangan. Hasilnya,….. tak banyak lagi hutan alam yang tersisa di sana.
“Banyak anggota TNI dikirimkan ke Papua, bukan untuk menjaga keamanan Papua, tapi untuk menjaga investasi perusahaan tambang,” tambah Mai menyinggung konflik di Papua. Investasi perusahaan tambang asing yang makin merajalela di wilayah Indonesia, juga peluang korupsi. Karena ijin tersebut bukan jadi alat regulasi, tapi menjadi alat transaksi.
Mai juga menyinggung bahwa sebuah Negara sesungguhnya terdiri atas pemerintah, wilayah dan warga negara. Wilayah bersama sumber daya alam (SDA) di dalamnya yang merupakan ruang dan sumber hidup warga negara, telah bergeser menjadi paradigma sempit dipandang sebagai komoditas penghasil devisa. Akibatnya, tiap periode pemerintah berlomba melakukan “keruk habis, jual cepat” SDA, lewat kebijakan instan dan praktek yang tidak dikontrol. Akibatnya konflik dan korupsi menjadi sebuah keniscayaan di sekitar kawasan kaya sumber daya alam, khususnya pertambangan.
Negara-negara yang bergantung pada ekspor minyak dan mineral cenderung memiliki tingkat korupsi sangat tinggi, pemerintahan yang otoriter, tingkat kemiskinan dan kematian anak tinggi, ketidakadilan pemerataan ekonomi serta rentan terhadap kerapuhan ekonomi (Extractive Industry and the Poor, 2001, Oxfam Amerika).
Tambang adalah kegiatan rakus lahan, alat-alat negara dimobilisasi untuk pembebasan lahan. Penggusuran lahan, pengusiran hingga “relokasi” terjadi hampir di semua lokasi tambang. Contohnya, kasus pembakaran 500 lebih pondok Pangerebo di Kawasan PT IMK Kalteng; pembebasan lahan oleh British Petroleum di Kampung Tanah Merah Teluk Bintuni Papua dihargai Rp15,- per meter, setelah konflik harganya baru dinaikan menjadi Rp 50,- per meter.
Keadaan di atas diperburuk dengan adanya dokumen AMDAL yang kualitasnya tidak memadai. Walaupun sudah ada 9.000 dokumen AMDAL yang disetujui oleh pemerintah, namun tidak menjamin mengurangi kerusakan lingkungan. Dari 474 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2008, baru terdapat 119 Komisi Penilai AMDAL, itupun yang berfungsi hanya 50% saja. Sedangkan sekitar 75% mutu dokumen AMDAL berkualitas buruk hingga sangat buruk (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008).
Data lain yang menarik adalah, “Dari sekitar 8.000 ijin pertambangan, 75%nya tumpang tindih dengan peruntukan lain”, (Hatta Rajasa, Mei 2011). “Hingga Februari 2012 telah menjadi 9.700 perijinan”, (peneliti Demos 2012).
Sifat pertambangan itu sendiri adalah, 1. tak terbarukan; 2. berumur pendek; 3. berdaya rusak (rakus lahan, air energi, limbah yang jumlahnya masif); 4. Orientasi Ekspor
Sejauh ini praktek kegiatan tambang, banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan dan tidak ada pengawasan dari pemerintah. Kerugian yang ditimbulkan mulai dari banjir, penghancuran hutan, pelenyapan lahan pangan, sampai pencemaran di badan-badan air. Bayangkan, untuk menghasilkan 1 gram emas maka akan menghabiskan :
- Lebih dari 100 liter air
- 2,1 ton limbah batuan dan tailing
- 5,8 kg emisi beracun: 260 gr timbal, 139 gr arsen, 6,1 gr merkuri & 3 gr sianida
- 10% energi dunia digunakan industri tambang.
Pengawasan juga sangat lemah saat penutupan tambang dan pelaksanaan reklamasi dilakukan secara asalan. Tidak ada jaminan pemulihan sosial dan lingkungan atas lahan bekas penambangan, dan meninggalkan “danau-danau” buatan terbuka tanpa pengamanan yang tak jarang memakan korban jiwa.
Banyak daerah di Indonesia yang kaya sumber daya alam tambang, tetapi masyarakat di daerah tersebut hidupnya jauh dari cukup. Sebagai contoh di Kalimantan. Lebih dari 200 juta ton batubara yang dikeruk dari bumi Kalimantan, hanya 2% nya saja yang digunakan penduduk Kalimantan. 20-30% di antaranya untuk pasokan di Sumatera dan Jawa, sisanya di ekspor ke Jepang, Cina, Amerika dan Eropa.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil?
- Melaporkan penggusuran lahan
- Melaporkan pencemaran dan perusakan lingkungan serta terlibat dalam tim pemerintah
- Melaporkan tumpang tindih lahan
- Mengawal perubahan PP2/2008 menjadi UU No. 19/2004
- Memperkarakan ke Mahkamah Konstitusi
- Memfasilitasi dialog-dialog
- Lomba investigasi korupsi
Apakah hasil di atas cukup efektif? “Belum, kalau hanya segelintir orang saja yang melakukan…. tapi kalau seluruh kelompok masyarakat peduli dan mau bergerak bersama, bukan mustahil akan ada perubahan yang signifikan dari praktek pertambangan ini,” pungkas Mai menutup acara Obrolan Sabtu Seru. [irma dana & jeni shannaz]
Obrolan Sabtu Seru, 11 Februari 2012 |Nara sumber: Siti Maimunah (Jaringan Advokasi Tambang) mai@jatam.org
+ There are no comments
Add yours