Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kaimana Bersama Yayasan PERDU dan Masyarakat di Esania

Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat merupakan salah satu konsep dimana  melibatkan masyarakat yang hidup dan bergantung dari sumber daya hutan dalam mengelolaa hutan secara legal dengan kapasitas yang baik. Memastikan bahwa mereka mampu mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan merupakan peran utama dari pendamping.  Pengakuan dan legalisasi kawasan kelola masyarakat yang akan dikelola dengan dukungan dan pengawasan yang baik menjadi langkah awal yang baik dalam mengimplementasikan ide pengelolaan hutan oleh masyarakat ini.

Hasil kajian penghidupan partisipatif yang dilakukan tim IUCN-Perdu menunjukan bahwa sumber daya hutan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penghidupan masyarakat. Kayu, rotan, Sagu, obat-obatan, buah-buahan dan sayura adalah produk-produk penting yang bisa didapatkan oleh masyarakat dari hutan. Hasil kajian juga menunjukan bahwa secara tradisional masyarakat mampu secara mandiri mengelola sumber daya hutannya. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa hutan merupakan dapur dan rumah bagi mereka. Sejauh ini masyarakat di Kaimana mengumpulakn hasil dari hutan sebagian dipakai untuk mendukung penghidupan sehari-hari dan sebagian lagi dijual ke kota. Laporan ini juga menyebutkan bahwa masyarakat yang kampungnya berdekatan dengan kota dan pasar mimiliki pendapatan cash yang lebih besar dari hutan sementara kampung-kampung yang letaknya cukup jauh dari kota lebih banyak memanfaatkan produk yang diperoleh dari hutan untuk kebutuhan hariannya.

Di kampung Esania (Desa tempat PERDU bekerja dengan dukungan Samdhana) untuk memenuhi pendapatan tunai, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengambil kayu dari hutan dan dijual ke kota. Dibandingkan dengan Kensi, desa lain yang menjadi tempat kajian  dimana letaknya di wilayah dataran tinggi Kaimana  dan cukup jauh untuk dijangkau dari kota, memakan waktu sekitar 6 jam dengan perahu motor  untuk sampai ke sana masyarakat di Kensi menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengelola pertanian mereka, mengumpulkan dan meramu dari hutan. Sebagian besar produk yang mereka hasilkan tujuan utamannya untuk konsumsi sehari-hari. Untuk kebutuhan mendapatkan uang tunaimasyarakat di Kensi biasanya pergi mengumpulkan  kulit masohi atau lawang yang selanjutnya akan dijual ke kota apabila mereka berkesempatan ke kota.  Selain pengahasilan tunai yang diperoleh dari penjualan kulit masohi dan lawang, saat ini beberapa dari mereka terutama  orang muda dan dewasa banyak terlibat dalam proyek pemerintah di kampung untuk mencukupi kebutuhan keuangan mereka.

Sebagai kabupaten baru di Provinsi Papua Barat, percepatan pembangungan di Kaimana mengalami peningkatan. Mereka menghadapi tantangan baru untuk mengelola sumber daya alam mereka untuk mendukung pembangunan daerah. Bahan bangunan merupakan salah satu kebutuhan yang paling penting untuk pembangunan fisik infrastuktur daerah. Setiap tahun baru banyak rumah dan gedung dibangun. Jalan dibuka dan butuh logistik. Kesemuannya ini memerlukan cadangan ssumberdaya dalam menunjang pembangunan di Kaimana. Kayu merupakan salah satu bahan bangunan yang penting dan sangat dibutuhkan. Informasi dari dinas pekerjaan umum bahwa kebutuhan kayu setiap tahun untuk perumahan dan bangunan di Kaimana mencapai lebih dari 500 m3. Kebanyakan dari kayu-kayu tersebut diambil dari hutan di sekitar kota Kaimana. Pemerintah belum secara tegas melarang aktifitas pengelolaan kayu ini sekalipun tidak ada izin legal yang di miliki pengelola untuk mengelola kayu. Beberapa lokasi  di mana kayu tersebut diambil dan dijual ke kota adalah kawasan lindung – terutama daerah yang berdekatan ke kota dan bisa dicapai dengan truk. Yang lain diambil menggunakan perahu panjang – seperti Esania.

Masyarakat di kampung Esania pun mengalami dilemma yang sama, dimana mereka merupakan masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya hutannya dan kayu merupakan satu produk yang selama ini mendukung mereka mendapatkan uang tunai secara langsung. Di sisi lain kayu-kayu yang mereka ambil dan hutan mereka dan dijual secara aturan dianggap illegal. Karena wilayah esania merupakan bagian dari kawasan hutan negara yang didalamnya terdapat beberapa fungsi hutan yaitu produksi, konversi dan lindung (hasil overlay peta wilayah adat esania dan peta tutupan lahan BPKH). Beberapa bagian wilayah esania disebelah timur merupakan areal bekas tebangan. Sekitar 5 tahun yang lalu terdapat satu perusahaan kayu diwilayah ini. Masyarakat umumnya menerima kompensasi dari kayu yang diambil berdasarkan kepemilikan wilayah adatnya.

Program PERDU-Samdhana di Kaimana
Di tahun 2007 progam IUCN, LLS (Landscape and Livelihood Strategy)  diimpelementasikan. Mereka mendapatkan dana dari Pemerintah Belanda untuk menjalanakan program di 24 daerah di dunia – dua diantaranya di Indonesia- pendanaan untuk 3 tahun. Di Indonesia IUCN bekerja dengan Samdhana dan CIFOR.  Ide dasar projek ini untuk memberikan input kepada pengambil keputusan di daerah tentang bagaimana dalam mengelolola kawasan dan penghidupan di dalamnya. Pilihan selanjutnya ke Baliem di dataran tinggi dan untuk dataran rendah dataran rendah dan daerah pesisir dipilih Semenanjung Bomberay sebagai area untuk belajar. Untuk wilayah disemenanjung bomberai, pilihan lokasinya jatuh di wilayah Kaimana. Pada kedua site ini, beberapa methodology untuk melihat hubungan antara penghidupan dan wilayah di aplikasikan. Modeling, analisis kemiskinan dan hutan, kajian hasil hutan bukan kayu merupakan beberapa alat bantu yang diaplikasikan. Kesemua alat bantu ini digunakan untuk membantu tim melihat kekayaan sumber daya hutan yang dimiliki masyarakat, bagaimana pola ketergantungan mereka terhadap sumber daya hutannya, serta melakukan simulasi bagaimana perubahan wilayah oleh waktu dalam beberapa scenario pembangunan yang dipilih.

Di Kaimanan prosesnya dimulai dengan kajian awal yang dilakukan oleh Yalihimo. Beberapa kajian juga sudah dilakukan oleh UNIPA seperti Kajian Keanekaragaman hayati, Kesejateraan dan analisa tutupan lahan dengan GIS. Pada awal tahun 2008 PERDU diusulkan dan disetujui untuk mendukung program di Kaimana. Mereka mulai memfasilitasi pertemuan para pihak di Kaimana dimana melibatkan pemerintah daerah, masyarakat dan LSM lokal. Pertemuan ini merekomendasikan bahwa intervensi program akan dijalankan pada 2 lokasi di Kaimana yaitu Esania di dataran rendah dan daerah pesisir dan kampung kensi di dataran tinggi kaimana. Rekomendasi ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan pertemuan para pihak (Masyarakat, PERDU, Samdhana dan IUCN) pada akhir tahun 2008 di Kaimana.

Sebagai bagian dari rencana program, pemodelan dynamic dengan menggunakan software stella juga dilaksanakan. Kegiatan ini melibatkan perwakilan dari beberapan instansi Pemerintah di Kaimana. Bersama dengan dukungan tim CIFOR model landscape Kaimana dibangun. Setelah pemodelan landscape kaimana dengan stella kegiatan lanjutannya adalah penerapan alat bantun analisis hubungan antara kemiskinan dan hutan atau kajian penghidupan partisipatif. Tim, dilatih oleh Gill Shepherd dari IUCN tentang cara mengaplikasikan alat bantu dilapangan, analisis data dan penyajian laporan akhirnya. Aplikasi alat bantu ini dilakukan di tiga desa:  di Esania,  Kensi dan Gaka. Alat bantu ini digunakan untuk membantu program melihat bagaimana penghidupan masyarakat dan ketergantungan mereka pada sumber daya alam, bagaimana jarak ke pasar atau daerah perkotaan mempengaruhi pendatapan uang tunai dan  non-tunai masyarakat secara langsung. Alat bantu ini juga membantu program dalam  memberikan gambaran umum tentang hak atas tanah; keputusan untuk mengelola sumber daya alam – siapa yang memiliki otoritas tinggi untuk membuat keputusan. Juga memberi kita daftar dari penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat – termasuk daftar  kayu potensial yang selama ini dimanfaatkan bahkan dijual oleh masyarakat.

Hasil kajian penghidupan partisipatif menemukan informasi bahwa sebagia besar sumber pendapatan uang tunai masyarakat di kampung esania berasal dari pemanfaatan kayu. Di sisi lain seperti telah disebutkan diawal bahwa tidak ada izin legal yang masyarakat milikin untuk memenfaatkan hasil hutan kayu-nya. Hampir semua penduduk di Esania mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang aturan kehutanan atau peraturan lainnya yang harus mereka tahu untuk mengelola sumber daya alam mereka. Mereka juga mengakui bahwa petugas kehutanan tidak pernah datang ke kampung untuk sosialisasi soal regulasi. Mereka berada dalam posisi sebagai korban ketika ada operasi oleh kepolisian atau polisi hutan. Sebagai rekomendasi mereka perlu difasilitasi untuk mengelola sumber daya alam mereka  sesuai dengan kerangaka hukum yang berlaku.

Menjawab  rekomendasi tersebut tim mencoba menemukan kerangka hukum legal yang dapat membantu masyarakat memecahkan masalah pengelolaan hutan yang mereka hadapi sekarang.  Permenhut No. 49/2008 tentang ” Hutan Desa” menjadi pilihan untuk menjawab masalah masyarakat ini dan digunakan sebagai cara untuk mendapatkan lisensi hukum  pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tim sepakat untuk mempelajari lebih jauh tentang Permenhut ini. Komunikasi dan diskusi dilakukan dengan beberapa pemangku kepentingan – termasuk Departemen Kehutanan di Jakarta, untuk menemukan langkah-langkah rinci untuk mendorong peluang implementasi hutan desa  di Esania. Program ini juga memfasilitasi pembentukan koperasi di daerah ini.

“Hutan Desa”  sebuah pilihan untuk Esania
Kondisi di mana masyarkat bergantung  pada hasil hutan kayu untuk mendapatkan uang tunai, tetapi kayu yang mereka ambil secara aturan dianggap illegal karena tidak ada ijin resmi dari pemerintah. Dilain pihak pemerintah daerah dalam posisi ragu untuk mengeluarkan ijin legal atau melarang masyarakat untuk menebang pohon. Kondisi ini membuat masyarakat tidak berada pada posisi yang nyaman untuk mengelola hutan mereka – produk kayu hutan. Jarak angkut yang jauh, harga kayu rendah di kota, kapasitas perahu yang terbatas untuk memuat kayu dan lemahnnya posisi tawar masyarakat dengan pasar di kota merupakan faktor-faktor non-hukum/aturan yang mempengaruhi buruknya manfaat yang diterima dari pengelolaan kayu di Esania.

Selain kondisi ini, isu-isu lain yang akan mempengaruhi kehidupan dan bentang alam di Buruway adalah tingginya permintaan lahan untuk kelapa sawit di Kaimana. Salah satu bagian yang berdasarkan pada peta kesesuaian lahan yang layak untuk pengembangan perkebunan sawit adalah Buruway – termasuk Esania. Ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang telah mengajukan proposal kepada pemerintah untuk daerah ini. Yang terakhir ini oleh PT. Rajawali yang meminta untuk perluasan 20.000 hektar perkebunan kelapa sawit. Beberapa kepala desa telah diundang untuk mengunjungi beberapa tempat di Sumatera dan Kalimantan. Dari model dynamic yang dibuat oleh tim dari CIFOR dan beberapa wakil dari instansi Pemerintah, terlihat bahwa dalam skenario bisnis seperti biasa akan ada banyak perubahan dalam lanskap. Model ini juga menunjukkan bahwa peningkatan migrasi penduduk di daerah ini akan memiliki korelasi positif dengan perluasan perkebunan kelapa sawit – karena kebanyakan orang di sekitar daerah ini tidak memiliki keterampilan yang baik dan pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.

Tim sepakat untuk menempatkan Permenhut  No.49/2008 sebagai kerangka hukum yang akan mendorong untuk memastikan pengakuan dasar dari pengelolaan hutan masyarakat di Esania. Komunikasi dan fasilitasi kepada masyarakat pun dilakukan. Tim mulai memperkenalkan dan melatih keterampilan teknis dalam pemetaan dan pengukuran hutan. Pelatihan ini diikuti oleh pemetaan tata batas wilayah kampung Esania. Kejelasan merupakan prasyarat persiapan daerah untuk “hutan desa” yang diusulkan. Masyarakat kampung Esania bersama fasilitator memastikan bahwa kawasan esania masuk dalam kawasan hutan negara dengan fungsi produksi dan lindung.. Kemudian mereka dengan koordinasi ke dinas kehutanan kabupaten dan BPKH juga harus memastikan bahwa wilayah yang akan diusulkan adalah diluar dari konsesi – tidak ada izin penggunaan lahan lainnya. Pemetaan dan overlay dengan peta tutupan lahan yang ada di Departemen Kehutanan adalah langkah untuk menyelesaikan prasyarat ini. Sambil mempersiapkan kelengkapan untuk pengusulan HD, sosialisasi kepada semua stakeholder di tingkat propinsi, kabupaten dan masyarakat juga dilakukan. Tim bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Papua Barat melaksanakan lokakarya “Hutan desa” kemudian dilanjutkan dengan lokakarya di Kaimana. Para tetua dari Esania turut terlibat dalam dua workshop ini.

Peraturan ini dianggap sebagai jendela untuk menangkap kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan izin legal untuk mengelola sumber daya alam/hutan mereka. Departemen Kehutanan RI juga pada posisi memberikan dukungan terhadap program yang didorong di Esania ini, mereka berharap bahwa ini akan menjadi salah satu praktik terbaik untuk Papua. Namun begitu beberapa khawatir masih muncul selama konsultasi – apakah masyarakat dapat mengelola hutan secara lestari atau tidak? Untuk memastikan bahwa para pihak yang terkait dengan program ini adalah memahami konsep “Hutan Desa” konsep berdsarkan Permenhut, wakil dari Departemen Kehutanan diundang mengambil bagian sebagai fasilitator dalam lokakarya.

Dokumen kelengkapan untuk pengusulan ‘hutan desa’ ke Departemen Kehutanan terus disiapkan. Profil kampung/desa, peta batas wilayah desa, koperasi sebagai badan usaha milik desa di bentuk dan dikuatkan serta surat yang disiapkan oleh pemimpin desa sebagai usulan ke Bupati. Surat dan persyaratan dokumen telah diberikan kepada Bupati itu akan dikirim ke Menteri Kehutanan RI  untuk mendapatkan verifikasi dan pengakuan sebagai “Desa Hutan”.

Koperasi

sago, one of the most important local food

Penguatan kapasitas masyarakat sebagai bagian dari penyiapan masyarakat mengelola hutannya merupakan tema kunci pada tahap awal program. Rekomendasi untuk mendirikan koperasi di wilayah ini keluar sebagai satu solusi. Pada dasarnya masyarakat telah memiliki kemanuan yang kuat untuk mengelola sumber daya alam mereka dengan sistem manajemen yang baik. Mereka berharap untuk mendapatkan keuntungan lebih dari pengelolaan hutan, lahan dan sungai yang mereka miliki.

Koperasi didirikan, pelatihan untuk membangun kapasitas mereka difasilitasi, melengkapi persyaratan administrasi dan membangun kantor koperasi di Kampung. Struktur dan keanggotaan koperasi dilengkapi dan koperasi siap untuk bekerja. Penguatan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya alam dan koperasi saat ini menjadi kebutuhan vital untuk memastikan bahwa mereka memahami  untuk siapa menjalankan dan mengelola lembaga tersebut.
 

Respon dari Stakeholder
Monitoring dan evaluasi terhadap program di Kaimana telah dilakukan oleh  Restu Achmadiadi (PUSAKA). Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk melihat bagaimana pencapaian dan respon  terhadap program oleh masyarakat dan pemerintah. Monev ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana proses fasilitasi dan pendampingan oleh fasilitator di kampung – melihat kelemahan dan kelebihan. Pada dasarnya masyarakat di Esania senang dan menyambut baik semua program pengembangan masyarakat yang datang di kampung. Mereka memiliki kemauan untuk mendukung program-program seperti ini, sejauh  bisa membantu meningkatkan penghidupan mereka. Sejauh ini beberapa warga kampung sudah mengambil bagian dalam kegiatan yang  telah dilakukan  oleh program. Koperasi diharapkan berjalan dengan baik sehingga dapat membantu dalam memasarkan produk sumber daya alam mereka.

Pemerintah Kabupaten juga merasa bahwa ini adalah kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses hukum untuk mengelola sumber daya alam mereka. Mereka memiliki pengalaman sebelumnya ketika Wakil Bupati memberikan  penggergajian kayu kepada masyarakat, tetapi karena mereka tidak memiliki izin legal dari pemerintah untuk mengelola kayu sehingga tidak bekerja lagi. Di sisi lain pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat menjadi salah satu pilar pembangun pemerintah daerah  . Mereka melihat program ini sebagai kesempatan baru bagi masyarakat untuk mengelola hutan mereka dalam kerangka hukum yang legal.

Dinas kehutanan  propinsi  dan  departemen kehutanan  nasional sejalan dengan apa yang  kita lakukan. Mereka menempatkan posisinya dalam mendukung program ini. Komunikasi secara terus menerus ke pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan bahwa program ini juga menerima informasi tentang perkembangan kegiatan.
Pembelajaran dari Program di Kaimana

  1. Multi stakeholder engagement (pelibatan para pihak): para pihak yang dianggap berkepentingan terus dilibatkan mulai dari awal program sampai sekarang. Pihak-pihak tersebut antara lain: Departemen Kehutanan RI, Pemerintah Propinsi Papua Barat, UNIPA. Pemerintah Dearah Kabupaten Kaimana, Beberapa NGO dan masyarakat dari beberapa kampung di buruway dan arguni. Semua pihak diatas memberikan masukan yang sangat signifikan terhadap program. Pendekatan pengelolaan hutan dengan melibatkan para pihan pada phase awal ini bisa dibuktikan sebagai salah satu langkah efektif.
  2. Penguatan masyarakat (Community Empowerment): pengalaman pengelolaan hutan di Papua pada saat program Kopermas (Koperasi peran serta masyarakat) yang memperbolehkan masyarakat mengambil hasil hutan kayunya tanpa ada dukungan dan pengawasan telah menyebabkan masalah illegal logging yang luas. Karena sebagian besar masyarakat yang menerima ijin kopermas membangun kemitraan dengan beberapa investor dan perusahaan untuk menebang kayu-kayu mereka dalam jumlah yang banyak. Implikasinya adalah beberapa dari mereka harus berurusan dengan polisi bahkan ditangkap karena dianggap melanggat aturan kehutanan.Seperti telah disinggung beberapa kali sebelumnya bahwa Kabupaten Kaimana semenjak berdiri sendiri sebagai kabupaten baru mengalami peningkatan permintaan terhadap kayu untuk mendukung pembangunan infrastruturnya. Kondisi ini menjadi faktor pendorong meningkatnya aktifitas masyarakat mengambil kayu untuk dijual ke kota. Situasi ini memunculkan beberapa kesimpulan bahwa masyarakat membutuhkan dukungan dan fasilitasi untuk mengelola sumber daya alamnya. Mereka juga butuh untuk mengerti perijinan, dan pengakuan ijin legal pemerinta. Mereka juga membutuhkan kenyamanan dan kesiapan untuk mengelola hutan.
  3. Capacity building (penguatan kapasitas): sejalan dengan implementasi program, penguatan kapasitas para pihak juga menjadi target utama. Mitra lokal dan masyarakat mengakui bahwa mereka mendapatkan banyak tambahan pengetahuan baru selama pelaksanaan program,. Modeling, koperasi dan analisis penghidupan adalah beberapa bagian dari proses transfer pengetahuan. Lokakarya dan pelatihan yang dilakukan juga melibatkan banyak pihak termasuk masyarakat dalam rangka proses penguatan kapasitas.
  4. Pemetaan batas wilayah adat: pemetaan merupakan salah satu kegiatan penting yang diimplementasikan selama program di Kaimana. Pemetaan dimaksudkan untuk menyiapkan dokumen bukti untuk menunjukan kepemilikan terhadap lahan dan hutan. membantu menunjukan wilayah-wilayah marga dan suku. Untuk wilayah Kabupaten Kaimana, Esania merupakan kampung yang pertama kali dipetakan wilayah adatnya dan peta ini diakui oleh masyarakat dari kampung tetangganya. Masyarakat secara terbuka menyambut baik hasil ini dan berharap ini akan menjadi dokumen yang baik bagi generasi selanjutnya. Kampung Tairi yang berbatasan langsung disebelah utara kampung Esania merupakan kampung yang wilayahnya juga telah dipetakan. Setelah beberapa kampung lain melihat hasil pemetaan di Kampung Esania, mereka juga mengusulkan kepada program untuk membantu memetakan wilayah adat mereka. [Yunus Yumte]

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours